Monday, February 25, 2008

HADIAH DARI 'ALAM'


BANJIR LAGI BANJIR LAGI GARA-GARA .......?

Bulan Februari yang 'Basah' membuat semua harus rela menerima air yang memang diperuntukkan oleh alam untuk kita, yang tak mampu dan mau menjaganya.
Alam tidak marah hanya mungkin merasa lara dan sedunya jatuh membasahi tanah, rumah, dan badan manusia yang mengotorinya.
Rumah saya yang Kami istilahkan 'Perumahan Mewah Sekali' ( Mepet Sawah dan Sedikit ke Kali) Wow... luar biasa limpahan airnya. padahal areal persawahan masih terbentang luas. Namun, limpahan sedu alam tak mampu menampung semua.
Warga satu kompleks berusaha menghijaukan yang tadinya sudah hijau. dengan andalan pot-pot sederhana yang tidak berpihak juga pada alam, yaitu "Plastik"

CERPEN


SEJAUH HARAPANKU
Hari itu baru pukul sembilan pagi, tapi rasanya sudah berjam-jam aku duduk merenung di depan meja komputernya. Yah.. hari itu ada rasa malas yang melanda diriku. Ah..rasanya ingin bebas saja dari rutinitas ini, keluhku dalam hati. Aku lihat semua rekanku masih asyik dengan pekerjaannya di depan benda tak bernyawa itu. Ada yang sibuk dengan laporan yang harus siap pagi ini juga, ada yang sibuk dengan games seru yang tersedia di komputer masing-masing. Bahkan terlihat nona Asha yang sudah tidak muda lagi namun masih gadis atau bahkan masih perawan, ah susah mendapatkan gadis yang masih perawan kata Azis waktu itu rekan kerjaku yang hobi mengoleksi perempuan, walau di rumahnya sudah tersedia perempuan pilihan ibunda dengan anak kecilnya.
Hari itu masih pagi memang dan tentunya orang kantoran masih semangat dengan pola kerja rutinnya. ”Mer...meri, panggil Anti pada Meri rekan di sebelah mejanya yang masih sibuk dengan nasi uduk sarapan paginya.
”Ada apa Bu Anti?” tanya Meri yang melihatku masih termenung menatap layar yang masih hitam, karena sehabis menaruh pantatku di kursi ini benda itu belum sempat kusentuh.
”Ah.. ndak apa-apa Mer, hanya sepertinya enak sekali yah nasi uduk itu?” kataku sekenanya.
”Oh..yah pasti uenak dong, ”kata Meri dengan sedikit promosinya. ”Nasi uduk ini ndak ada tandingannya di sekitar Tanjung Priuk ini, lah wong orang-orang dari lima penjuru sudah mengenal nasi uduk made in Bu Ides ini loh!” cerocos Meri dengan mulut penuh orek tempe.
Aku tersenyum melihat tingkahnya yang memang cenderung kekanakan, padahal buntutnya sudah dua, bahkan yang besar sudah duduk di kelas satu SMP. Terbayang perkataan Mas tadi pagi. ”Kamu ndak usah mungkir, siapa laki-laki yang sering datang ke rumah ini?” kata Mas dengan suara yang mengelegar. Aku yang memang terkejut, karena tak menyangka Mas akan searah itu.
”Aku ndak ngerti siapa yang Mas maksud,” kataku sambil menyisisr rambutku.
”Ala ndak usah basa-basi, kebusukanmu sudah tercium!” seru Mas masih dengan nada jengkel, sambil menyambar tas kerjanya dan pergi begitu saja tanpa mendengar teriakanku. Bagiku insiden pagi ini harus dituntaskan apapun itu.
”Mas kita bisa bicara siang ini?” kataku di telepon. ”jemput aku yah di depan kantor”.
”Yah” jawabnya pendek saja
”Mir nanti kalau pak Zul tanya tentang aku bilang yah aku pulang ada hal mendadak.” kataku pada Meri
”Loh...loh Bu mau kemana dan ada keperluan yang mendadak...dak apa toh?” tanya Meri penuh ingin tahu.
”Kamu bilang saja Bu Anti izin.” Sahutku sambil kusambar tas kerja dan melambaikan tangan pada Joko yang mulutnya seperti mengucap ”ada apa?.
”Kita langsung pulang saja Mas.” kataku pada Mas yang menungguku di depan gerbang kantor. Kulihat suamiku tak merespon namun langsung menghidupkan mesin mobil dan tancap gas.
”Kebusukan pada akhirnya akan tercium juga.” kata suamiku begitu sampai di rumah. Aku belum sempat membuka sepatu dan menaruh tas kerjaku. ” Sekarang aku tanya baik-baik sama kamu, SIAPA LAKI-LAKI YANG SUKA DATANG KEMARI?” tanya Mas masih dengan nada tinggi. ”Sudah ndak usah bohong lagi, kamu yang ngerti agama yang pakai kerudung tertutup, yang ndak pernah tinggal sholat lima waktu, jadi ndak usah cari cerita yang buat kuping ini panas !” kata Mas lagi.
”Mas lagi membicarakan siapa Mas?’ tanyaku sambil menyentuh tangannya.
”Membicarakan siapa,asal kamu tahu kelakuanmu dengan laki-laki lontong itu membuat anakmu Soraya tersiksa, hingga dia mengadu kepada ibuku kelakuan bejat mamahnya. Katanya mamahku mbah, suka didatangi laki-laki, duduk di ruang tamu selalu satu tempat di kursi panjang, waktu itu pernah kami nonton di PS, eh laki-laki itu ada dan nonton dengan kami, begitu cerita anakkmu Soraya pada ibuku dengan sedihnya.” aku tak kuasa menahan airmata, aku tidak menyangka anakku Soraya berpikir yang tidak-tidak tentang mamanya.
Selama ini aku berteman dengan para pria memang terlampau akrab, itu sifat asliku dari aku remaja. Aku selalu bisa akrab dengan pria dibanding dengan wanita. Karena dengan pria aku bisa cerita apa saja, tidak selalu harga-harga yang melambung di pasaran. Selama ini aku berpikir anakku mengerti ibunya yang selalu akarab dan ramah terhadap pria, nyatanya aku tak mengenal anakku.
”Kamu tahu, karena ulahmu, dia risih kalau bercerita problem remajanya denganmu, karena baginya kamu tidak pantas ditiru apalagi jadi panutan, sekarang ceritakan siapa laki-laki itu?” seru Mas dengan muka yang merah menahan marah.
”Mas tidak ada laki-laki spesial seperti anggapanmu?”kataku pelan.
”Kamu ndak usah bohong lagi, anakmu sudah cerita banyak, dan si Munah pembantu kita juga cerita bahwa laki-laki lontong itu selalu datang kemari!” seru mas lagi.
”Aku sudah bilang tidak ada laki-laki yang mesti aku ceritakan padamu, kalau sekedar teman saja aku banyak, kebetulan memang suka kemari.” kataku lagi. Tapi aku memaoriku langsung flas back ke waktu aku ikut diklat di Lembang selama sepuluh hari. Waktu itu aku dikirim oleh kantor untuk ikut diklat jurnalistik, disana aku mengenal Abdul seorang manager keuangan dari sebuah departeman. Dengan perhatiannya, selama sepuluh hari aku merasa nyaman dan tenang. Perhatian yang jarang kuterima dari Mas.
Setelah diklat itu Abdul sering menelponku sekedar menanyakan apa aku sudah makan? Atau menanyakan khabarku ada cerita apa aku hari ini? Atau sekedar menanyakan pekerjaanku. Malah sering aku meminta pendapatnya mengenai pekerjaanku. Abdul selalu bisa menghiburku dengan leluconnya, dan cerita serunya dengan teman-temanya.
Itu semua tidak pernah kudapt dari Mas, ia sibuk dengan pekerjaanyna. Bahkan untuk menelponku saja di tengah kesibukannya ia tidak pernah. Leluconku yang kudengar dan kuceritakan pada Mas saja ia sering tidak mengubrisnya. Mas terlalu sibuk dengan pekerjaan dan orang tuanya. Namun, setelah kulihat sepertinya Abdul ingin lebih kenal dan terlalu jauh dengan hubungan ini, aku buru-buru menyudahi dan mengatakan padanya bahawa hubungan kami mulai tidak sehat juga tidak dibenarkan oleh agama. Mulanya Abdul menolak, namun aku bersikeras bahwa kita tidak akan tenang dengan hubungan ini, juga hubugan ini salah. Akhirnya Abdul mengerti. Semenjak itu aku dan Abdul tidak pernah lagi menjalin kontak. Karena bagiku apapun suamiku ia sudah kupilih untuk mendampingiku hingga akhir hayat. Ia bapak dari buah hatiku. Sejelek apapun ia.
”Jawab? Siapa laki-laki itu?” tanya mas lagi.
Aku yang tersadar kemudian menjawab dengan penuh penyesalan ”Maafkan aku Mas, aku benar-benar salah terlalu memberikan perhatian pada laki-laki itu.” kataku dengan penuh penyesalan”Tapi ndak ada kejadian yang aneh-aneh, kami hanya saling memberikan perhatian.”seruku lagi.
”Perhatian-perhatian, kamu ndak mikir kalau kamu itu sudah punya suami dan anak hah!” kata Mas
”Aku tahu Mas maka aku kemudian sadar bahwa pertemanan aku dengan dia ndak bisa dilanjutkan.” kataku pelan.
”Sejauh mana pertemanan kalian?” tanya Mas curiga.
”Ndak ada pa-apa Mas hanya berteman saja.” jawabku lagi. Mas mendesakku terus.
”Tapi kata anakkmu Soraya kalian perpandangan mesara waktu di bioskop?” tanya Mas.
Kukira hari itu permasalahan kami sudah jelas dan Mas mau menerima penjelasanku. Tetapi ternyata permasalahan ini berlanjut ke keluarganya. Pagi itu hari Minggu, Mas mengajakku dan kedua buah hati kami mengunjungi ibunya yang sedang sakit dan tinggal dengan adik bungsunya. Sampai di rumah itu kulihat semua adiknya yang berjumlah tiga orang sudah berkumpul lengkap dengan pasangan masing-masing. Aku pikir mereka sama denganku ingin mengunjungi ibunya yang sakit. Teryanta perkiraanku meleset. Ketika suamiku memulai pembicaraan. Barulah aku tahu kalau aku sedang menghadapi proses persidangan keluarga suamiku.
Mereka memakiku mengatakan istri yang tidak tahu diri, istri yang sudah menginjak-injak harga diri suami dengan memperbolehkan laki-laki lain bertandang ke rumah sementara suaminya tidak ada di rumah,dan kata-kata yang menyakitkan yang akhirnya menimbulkan pertengkaran dengan suamiku. Baru aku menyadari ternyata Mas membelaku dengan kegarangan anak tertua.
”Kalain ndak usah ikut campur lagi semua sudah kami selesaikan!” Kata Mas pada adik-adiknya.
”Ndak bisa begitu dong Mas, keluarganya harus tahu kelakuan bejat anaknya!” kata adik permpuannya dengan sinisnya. Pandangannya menghujam ke arahku. Padahal baru bulan lalu kami mendamaikannya dengan susah payah karena suaminya ada main dengan rekan bisnisnya. Tidak ingatkag dia aku yang membelanya di depan suaminya.
”Yah Mas ingat ndak dulu kita meminta dia dengan baik-baik eh bapaknya yang otoriter itu dengan sombngnya bilang, ”Kalian mau kasih anak saya yang sarjana dan paling cantik di kampung ini dan paling populer apa?” katanya dengan nyiyirnya ,”apa itu ndak cukup sebagai penghinaan,seolah-oleh anaknya itu, manusia ini! (telunjuknya menunjuk ke diriku yang sudah macam orang pesakitan), paling terhormat, nyatanya mana, busuk sekali kelakuan istri seperti ini.”
Adik laki-lakinya yang bekerja sebagai pengacara menunjukkan jari tangannya yang hitam dan kasar ke arah mukaku dengan pandangan jijik.yah seolah-oleh aku ini makhluk menjijikkan yang mereka lihat. Mas dengan marah menepis tangan adiknya dan menyuruhnya duduk, namun adik laki-laki Mas yang satu lagi menghardik aku dan mengatakan aku permpuan sundal, sok kecakepan, pelacur kelas teri! Dan perkataan yang rasanya tak pantas didengar oleh kedua buah hatiku.
Tidak tahan melihat adiknya yang tidak mengindahkan perkataannya Masku menampar muka adiknya. Situasi pada saat itu memang panas. Anakku menangis melihat cacian, sumpah serapah yang dilontarkan keluarga itu, merka memelukku karena melihat ibunya dalam posisi terancam
”Aku boleh bicara?” kataku setengah berteriak, pikirku situasi ini sudah tidak nyaman dan panas. ”Tidak pernah ada penyelewangan yang aku lakukan”, hanya saja aku memang terlampau ramah dan perhatian dengan laki-laki.” kataku pelan. Aku tidak berusaha meyakinkan karena bagiku percuma saja ,mereka sedang dalam suasana panas dan penuh curiga padaku.
Setelah kejadian itu Mas terlalu overprotektif pada setiap gerak langkahku. Aku tidak bisa lagi bebas pergi dengan teman-temanku, karena ia tidak mengijinkan. Bagi mas teman-temanku sama saja denganku yang rentan dengan perselingkuhan. Katanya lagi teman-temanku juga pasti melindungi perselingkuhan aku. Sekarang dimanapun aku berada aku harus melapor keberadaanku pada Mas. Untuk ke Mall saja aku tidak boleh sendiri., dengan teman pun tidak boleh. Katanya ke mall bukan hal yang penting sekali. Jadi tunggu saja pergi dengan dia. Karierku rasanya hampir mati, sebagai redaktur senior di sebuah majalah terkemuka jalan di tempat. Seminggu ini hampir tak ada tulisan yang aku hasilkan. Padahal majalah ini menuntuku untuk membawa pencerahan baru, setelah pergantian pucuk pimpinan. Malah pada waktu rapat rutin aku menjanjikan akan membuat gebarakan baru dengan majalah ini. Tapi apa .... apa yang sudah aku buat, semua berantakan, ideku hangus, hitam dan tak bisa muncul.
Teror-teror dari keluarga suamiku agar suamiku menceraikan aku sudah sampai puncaknya. Bagi keluarga mereka kehormatan suami nomor satu. Istri tidak boleh salah melangkah. Tapi suami boleh salah, karena memang kodratnya istri itu harus suci. Ibarat Dewi Shinta dalam epos Ramayana, aku sudah kotor, karena berani berteman dan dekat dengan laki-laki bukan suaminya.
”Mba...Mba... Anti, ini loh ada surat.” kata Susan
“Tanks yah San .” kataku dengan enggan menerima surat itu.
Susan pasti memperhatikan sikapku. Karena biasanya aku orang yang paling antusias bila menerima surat. Waktu itu aku bilang ”Surat mentradisikan pesan leluhur”. Yah zaman sudah canggih ada handphone, ada e-mai, rasaya surat dari pak pos hambar saja. Aku Cuma ingin menanamkan budaya surat menyurat pada rekan-rekan.
Hari masih pukul setengah sembilan ketika kakiku yang layu aku ayunkan ke gedung itu. Gedung hijau, yang seharusnya membawa keteduhan bagi siapun yang menyinggahinya. Padaha segenap maaf sudah akau hamburkan untu suamiki. Tapi keluarganya sepertinya menjadi jurang bagi maaf yang aku kumpulkan dari jiwa raga ini. Kali ini, dengan setumpuk harap dan selaksa doa, aku memohon agar Mas membatalkan tuntutannya, untuk tidak menceraikan aku......................................
(duka di akhir tahun SV)

Back Home Pasien Covid

Good bye Wisma Atlet Hari ke-14 di Wisma Atlet "Menunggu Surat" Senin, 4 Januari 2021 Ini hari ke-14 di Wisma Atlet. Katanya kami ...