STRATEGI MENUMBUHKAN BUDI PEKERTI
DAN MENDUKUNG GERAKAN LITERASI SEKOLAH
DENGAN MEMAKSIMALKAN EKOSISTEM PENDIDIKAN
Ditulis oleh
Dra. Hj. Seni Asiati, M.Pd
(Komunitas REM 15)
SMP Negeri 266
Jalan Cilincing Bhakti VI No.29 Jakarta Utara
Telepon (021) 4402745
A.
Pendahuluan
Dalam ekosistem,
organisme dalam komunitas berkembang bersama-sama dengan lingkungan fisik
sebagai suatu sistem. Organisme akan beradaptasi dengan lingkungan fisik,
sebaliknya organisme juga memengaruhi lingkungan fisik untuk keperluan hidup.
Sebagai
ekosistem pendidikan, guru merupakan individu yang terbentuk oleh hubungan
timbal balik antara tamu dengan lingkungan. Dalam hal ini siswa dan lingkungan
sekolah, beserta sarana dan prasarananya dalam menunjang pembelajaran.
Ekosistem dapat dianggap sebagai suatu tatanan kesatuan secara utuh dan
menyeluruh antara semua elemen lingkungan yang mempengaruhi satu sama lain.
Sayangnya ekosistem pendidikan kita belum terbangun karena penumbuhan budi
pekerti belum menyentuh pembentukan kultur sekolah sebagai komunitas moral.
Sekolah sebagai bagian dari ekosistem pendidikan masih belum menumbuhkan
semangat literasi bagi siswa. Contoh nyata dari tidak adanya ekosistem
pembelajaran yang menjadikan lembaga pendidikan sebagai komunitas moral / budi
pekerti adalah adanya inkonsistensi kebijakan. Literasi di sekolah masih
kepunyaan guru bahasa Indonesia. Sementara ekosistem di sekolah mencangkup
semua guru yang mengajar, kepala sekolah, komite, staf tata usaha di sekolah
bahkan alumni dapat dilibatkan dalam gerakan literasi sekolah.
Kegiatan literasi selama ini identik dengan aktivitas
membaca dan menulis. Namun, Deklarasi Praha pada tahun 2003 menyebutkan bahwa
literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi
juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan,
bahasa, dan budaya (UNESCO, 2003).
B. Literasi Mewujudkan Budi Pekerti
Secara
antropologis, peradaban modern dimulai dengan penemuan teknologi literasi
(baca-tulis). Sejarah bangsa-bangsa purba yang sejak lama menemukan dan
mengembangkan teknologi literasi (Mesir dan negara–negara teluk lainnya serta
Tiongkok misalnya) terbukti memberikan sumbangan yang signifikan terhadap
peradaban modern. Dengan teknologi literasi itu dilakukan pencatatan apa yang
dipikirkan, apa yang terjadi, dan dunia imajinasi masyarakat yang kemudian
semua itu disebut peradaban. Dengan demikian peradaban itu bersambung-bertemali
bahkan dikembangkan oleh generasi baru dengan kreasi, tuntutan, dan tantangan
baru.
Khazanah literal
purba suatu bangsa menunjukkan betapa pentingnya kompetensi literasi itu dalam
perjalanan sejarah kemanusiaan berabad kemudian. Bangsa Tiongkok sejak zaman
purba telah dikenal dalam dunia pengobatan. Bangsa-bangsa di Timur Tengah sejak
zaman Purba telah menyumbang ilmu di bidang astronomi, matematika, dan
kedokteran modern. Perkembangan di kemudian hari, bangsa lain yang lebih mampu
membaca literatur purba itu berperan besar dalam pengembangannya melalui
penyaduran dan penerjemahan. Intinya, peradaban canggih yang terkini sampai
yang akan datang dimulai dan dikembangkan dari simbol-simbol literasi yang
paling purba.
Budaya literasi
merupakan suatu proses sekaligus hasil dari pergulatan (dialektika) antara apa
yang dikehendaki (karsa), suasana batin (rasa), dan apa yang dilakukan (karya)
manusia dalam rangka meningkatkan kualitas hidup. Ada pertautan antara tingkat
penguasaan literasi dengan kualitas hidup masyarakat. Semakin maju masyarakat
atau bangsa ditunjukkan dengan tingkat budaya baca-tulis yang tinggi pula.
Budaya baca-tulis (sebagaimana firman Allah dalam al Quran surah al Alaq: Iqro)
terbukti memberikan pencerahan untuk hidup yang lebih baik dan berkualitas.
Kebudayaan
modern dimulai dari penemuan teknologi literasi. Teknologi literasi
memungkinkan pencatatan dan pengembangan kesejarahan manusia. Khazanah literal
purba suatu bangsa menunjukkan betapa pentingnya kompetensi literasi menentukan
perjalanan sejarah kemanusiaan berabad kemudian. Kompetensi literasi merupakan
penentu pencapaian ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sampai pada penghayatan
dan aktualisasi nilai religi masa kini. Budaya literasi merupakan proses
sekaligus hasil dialektika antara karsa, rasa, dan cipta manusia dalam
meningkatkan kualitas hidup. Budaya literasi dapat mengasah kepekaan,
ketajaman, dan kecendekiaan rasa yang kemudian berwujud pada keluhuran budi
pekerti.
Pada akhirnya
budaya literasi dapat mengasah kepekaan (sensitivitas), ketajaman, dan
kecendikiaaan akal dan hati yang dalam wujud kesehariannya disebut budi pekerti
atau akhlak. Oleh karena itu, kita berupaya menumbuhkembangkan budaya
baca-tulis agar siswa (dan kita semua) lebih tercerahkan akal dan hati kita
sehingga mampu membangun keluhuran budi pekerti atau akhlakul karimah.
C.
Memperbaiki Keadaan Baca-Tulis dengan Memaksimalkan Ekosistem Sekolah
Literasi dalam
konteks GLS merupakan kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan informasi
secara cerdas melalui berbagai aktivitas al membaca, melihat, menyimak,
menulis, dan /atau berbicara.
Berdasarkan data
yang dihimpun oleh Ikapi, Indonesia hanya menerbitkan sekitar 24.000 judul buku
per tahun dengan rata-rata cetak 3.000 eksemplar per judul. Menurut Mulyana
dalam Sutanto (2010: 4) keadaan ini masih kalah jauh dibandingkan dengan Jepang
yang menerbitkan 40.000 judul, Inggris 60.000 judul, dan Amerika 100.000 judul
pertahun . Hal ini tidak sesuai dengan jumlah
penduduk Indonesia yang mencapai lebih 240 juta jiwa. Bila dihitung berarti
orang Indonesia hanya membaca satu buku dan itu pun dibaca oleh 3-4 orang.
Standar yang ditetapkan UNESCO idealnya satu orang membaca tujuh buku pertahun.
Asumsi ini berkesimpulan
bahwa minat baca orang Indonesia masih rendah. Mulyana (2004:13) menyatakan bahwa semakin
tinggi minat baca masyarakat, semakin banyak pulalah penulis pada masyarakat
tersebut, begitupun sebaliknya. Orang tidak tergerak hatinya untuk menulis bila
masyarakatnya tidak gemar membaca. Bagaimana minat baca akan timbul bila bahan
bacaan yang menjadi mendorong saja terbatas tidak banyak pilihan bacaan, sulit
didapat, mahal harganya, dan mungkin saja bacaan tersebut tidak menarik atau
tidak menimbulkan rasa ingin membaca.
Menurut Sutanto
(2010:5) ketidaklengkapan buku di pasar dan tingginya harga menjadi problem
yang nyata di Indonesia. Sesungguhnya keberadaan buku yang bagus di pasaran
masih amat terbatas. Mayoritas buku yang bagus adalah buku asing dan
sebagaimana produk asing pada umumnya, harganya biasanya mahal. Begitu sulitnya
mendorong kegiatan literasi di Indonesia menjadi pemikiran yang mendalam dan
pekerjaan rumah pemerintah.
Prof. Dr. Ki Supriyoko, M.Pd. dalam tulisannya dengan judul
“Minat Baca dan Kualitas Bangsa” di Harian Kompas Selasa, 23 Maret 2004,
menyatakan: “ Secara teoritis ada hubungan yang positif antara minat baca (reading interest) dengan kebiasaan
membaca (reading habit) dan kemampuan
membaca (reading ability). Rendahnya
minat baca masyarakat menjadikan kebiasaan membaca yang rendah, dan kebiasaan
membaca yang rendah ini menjadikan kemampuan membaca rendah. Itulah yang sedang
terjadi pada masyarakat kita sekarang ini.”
Berdasarkan hasil survei PISA mengenai tingkat literasi anak
di Indonesia pada tahun 2009 berada pada urutan ke 62 dari 72 negara. Dan pada
tahun 2012, Indonesia urutan 64 dari 65 negara yang diteliti. Begitu mirisnya
mengetahui bahwa literasi bangsa kita jauh di bawah bahkan terbawah bayangkan
dari 64 hanya ada satu negara di bawah negara kita.
Sebenarnya sudah
banyak cara yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki keadaan dan menumbuhkembangkan
budaya baca-tulis masyarakat Indonesia, antara lain:
1. Pemberdayaan
perpustakaan keliling,
2. Aplikasi
perpustakaan digital,
3. Gerakan
Indonesia Membaca dan Menulis yang digagas oleh Badan Bahasa Kemdikbud), dan
4. dan
yang baru saja dicanangkan adalah gerakan literasi sekolah.
Suherman dalam
bukunya (2010:71) menuliskan “untuk menuju perubahan budaya (budaya membaca),
langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan cara mengubah paradigma jika
kita ingin menggali lebih banyak manfaat dari membaca. Kita harus mulai menempatkan
minset ke jalan yang benar bahwa membaca adalah sebuah kebutuhan jika ingin
bertahan hidup dalam persaingan global yang semakin ketat.”
Sudah saatnya semua bergerak memperbaiki keadaan akan
literasi bangsa kita merangkak naik ke urutan yang patut diperhitungkan.
Memperbaiki keadaan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, bila semua
bergerak kita pasti bisa. Memperbaiki keadaan memang bisa dimulai dari semua
lini salah satunya gerakan literasi sekolah. Gerakan Literasi Sekolah adalah
gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang ditempuh
untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca siswa. Pembiasaan ini dilakukan
dengan kegiatan 15 menit membaca (kegiatan ini dilakukan oleh semua warga
sekolah tidak terkecuali para karyawan tata usaha, disesuaikan dengan konteks
atau target sekolah).
Kegiatan
literasi sekolah ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca siswa serta
meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih
baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal,
nasional, dan global yang disampaikan sesuai tahap perkembangan siswa.
Terobosan penting ini hendaknya melibatkan semua pemangku kepentingan di bidang
pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan
pendidikan.
Pelibatan orang
tua siswa dan masyarakat juga menjadi komponen penting dalam gerakan literasi
sekolah.
Semua elemen yang terdapat dalam ekosistem pendidikan menjadi kesatuan yang
utuh dalam menumbuhkan literasi. Budaya baca yang ditanamkan dari kecil atau di
rumah menjadi modal dasar untuk menumbuhkan literasi yang lebih baik. Literasi yang dilaksanakan dengan menumbuhkembangkan
budi pekerti siswa dengan memaksimalkan ekosistem literasi sekolah yang
diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah bertujuan agar mereka menjadi
pembelajar sepanjang hayat.
Literasi sekolah
bila dimaksimalkan akan menjadikan bangsa ini khususnya anak Indonesia
menjadikan baca-tulis sebagai budaya hidup
bukan gaya hidup. Tujuan literasi dalam memperbaiki keadaan dengan
memaksimalkan ekosisten pendidikan:
1. Menumbuhkembangkan
budaya literasi membaca dan menulis siswa di sekolah,
2. Meningkatkan
kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar literat,
3. Menjadikan
sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah
mampu mengelola pengetahuan, dan
4. Menjaga
keberlanjutan pembelajaran dengan menghadirkan beragam buku bacaan dan mewadahi
berbagai strategi membaca.
Setiap siswa
yang saya tugaskan menulis pasti akan menjawab; sulitnya memulai menulis.
Keadaan inilah yang membuat literasi siswa tidak tumbuh dan berkembang. Menurut
Sutanto (2010: 12) memulai menulis itu ibarat orang yang memulai lari kecil (jogging). Penulis yang berhasil
menjadikan kegiatan menulisnya sebagai suatu kebiasaan writing
is a habbit. Tiada hari tanpa menulis, kemampuan literasinya akan tumbuh
dan berkembang. Untuk memperbaiki keadaan ini jangan ragu untuk terus mendorong
siswa bahwa apa saja bisa menjadi bahan tulisan walau yang dihasilkan mungkin
hanya satu kalimat.
D.
Strategi Literasi di Sekolah
Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti merupakan langkah untuk
memperkuat regulasi pembentukan karakter di lingkungan pendidikan. Setiap
sekolah seharusnya menjadi tempat yang nyaman dan inspiratif bagi siswa, guru,
dan/atau tenaga kependidikan. Era
keterbukaan informasi, mempermudah kita menulis dan menerbitkan tulisan. Jumlah
buku yang diterbitkan meningkat. Teknologi informasi menambah luas dan
memperkaya sumber informasi. Sumber informasi berbasis teknologi lebih menarik?
Bagaimana dengan perpustakaan sekolah kita? Bagaimana dengan suasana
pembelajaran kita, apakah mempunyai daya dukung terhadap pertumbuhan minat baca
dan tulis? Beberapa pertanyaan tersebut dapat dijawab oleh semua warga sekolah
sebagai ekosistem pendidikan.
Gerakan literasi ini merupakan tindak lanjut tentang
Permendikbud 21/2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Berdasarkan Permendikbud
tersebut disebutkan setiap siswa hendaknya membaca buku minimal 15 menit setiap
harinya di sekolah. Gerakan literasi di sekolah
sebenarnya tidak cukup untuk menumbuhkan minat baca-tulis siswa. Namun demikian
kegiatan literasi disekolah sedikit banyak menyumbang tumbuhnya budi pekerti
bagi siswa. Banyak pesimisme dengan gerakan literasi sekolah ini. Hal itu memang sudah bisa diprediksi karena
setiap langkah untuk memulai sesuatu yang positif pastilah ada pro dan kontra.
Hal yang lebih
menarik adalah menangkap suatu informasi penting tentang sejauh mana orang
memahami gerakan literasi tersebut. Apalagi jika gerakan literasi
dikait-kaitkan dengan urgensi transformasi sosial.
Pertanyaan-pertanyaan seputar gerakan literasi sekolah ini
mungkin bisa kita kaji untuk mencari strategi yang tepat dalam
menumbuhkembangkan literasi siswa. Bagaimana
suasana literal lingkungan keluarga siswa sebagai bagian inti dari ekosistem
pendidikan? Bagaimana suasana literal masyarakat di sekeliling siswa? Teknologi
dan industri audio-visual sebagai
pupuk (pemacu) atau benalu (pengganggu)?
Beberapa guru
sudah melaksanakan literasi di sekolah dengan beragam strategi yang menarik
agar siswa tumbuh minat untuk membaca dan menulis. Bila saya ditanya adakah
strategi jitu untuk menumbuhkan minat baca-tulis siswa? Sebagai seorang guru
tentunya saya mempunyai strategi agar siswa saya dapat termotivasi untuk
membaca dan menulis. Sebenarnya apapun yang mereka baca asalkan bahan bacaan
tersebut masih bisa menjadi tuntunan untuk mereka syah-syah saja mereka baca.
Guru bahasa
Indonesia pastinya pintar membaca dan mahir menulis. Kalimat itu bukannya tanpa
alasan diungkapkan oleh guru mata pelajaran lain. Hal ini mereka ungkapkan
ketika saya katakan bahwa literasi itu milik semua bukan hanya guru bahasa
Indonesia. Sebagai ekosistem pendidikan semua harus empati, peduli, bersemangat,
dapat berkontribusi, dan berperan dalam menumbuhkan budi pekerti siswa dengan
menggalakkan literasi. Setiap guru pasti memiliki strategi ketika ia mengajar. Strategi-strategi
yang saya praktikkan dalam gerakan literasi adalah hasil dari pengalaman sebagai
guru. Walau terkadang strategi itu belum memperoleh hasil yang memuaskan.
Beberapa strategi
yang dapat digunakan dalam menumbuhkembangkan minat baca-tulis di sekolah, antara lain sebagai berikut:
1.
Mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi
Sarana dan prasarana di sekolah harus ramah. Arti ramah
disini adalah lingkungan disediakan dekat dan mengaktualisasikan diri anak untk
mudah menemukan tempat membaca. Misalnya: sudut-sudut baca, kantong-kantong
baca, tempat duduk baca yang disediakan sekolah dengan nyaman. Semua tempat
baca yang disediakan diisi buku yang sifatnya menambah pengetahuan dan hiburan
pada siswa bukan buku pelajaran. Buat juga tempat untuk wadah menampung karya
siswa. Sekolah menyiapkan format laporan hasil membaca.
Semua ruang kosong dan lingkungan sekolah kaya akan teks
sebagai upaya memaksimalkan literasi
baca sekilas pandang.
2. Mengupayakan
lingkungan sosial dan afektif melalui REM 15 (Relawan
Membaca 15 menit)
Minat untuk belajar akan tumbuh jika
siswa ada di lingkungan sosial yang baik. Semua ekosistem
sekolah berliterasi dan saling menghargai.
Kalau selama ini guru ingin dihargai, sepatutnya guru juga dapat menghargai
siswa. Hernowo dalam bukunya menuliskan
bahwa apabila dalam diri seseorang tidak timbul gairah untuk mengajar
atau belajar tentang hal-hal yang akan diajarkan atau dipelajarinya, maka di
dalam lingkungan belajar-mengajar itu agak sulit ada kegembiraan (2005:19). Hal ini sejalan dengan minat anak dan
penghargaan yang ia terima karena kegairahan dalam menerima apa yang dipelajari
dan penghargaan yang ia terima.
REM 15 adalah salah satu upaya
memberikan penghargaan pada siswa. Penghargaan
terhadap siswa memang tidaklah sulit. Ketika ada yang membacakan puisi karya siswa, siswa tersebut merasa
ada penghargaan yang ia terima atas jerih payahnya. Memberikan kegembiraan
ketika kegiatan belajar mengajar sudah membuat anak dihargai.
Bentuklah Relawan Membaca 15’
dari siswa untuk siswa. Tugas REM 15 ini adalah melaporkan sudut-sudut baca dan
kantong-kantong yang memerlukan buku. Selain itu REM 15 juga
menjadi relawan untuk membaca dan bercerita di depan siswa lain dalam kegiatan
pembinaan pada siswa di lapangan. Pembina GLS menyiapkan prosedur operasi
standar sebagai acuan untu REM 15.
Secara berkala REM 15 bergantian untuk kegiatan ini dengan membacakan
karya siswa dari hasil membaca buku. Apresiasi
ini dapat dilakukan sebulan sekali, penghargaan terhadap hasil karya siswa
dapat berupa kumpulan hasil karya siswa yang dijadikan buku.
3. Mengupayakan
warga sekolah mendukung sekolah sebagai lingkungan
akademik yang literat
Literasi bukan hanya melibatkan guru bahasa Indonesia.
Semua ekosistem sekolah ikut mendukung gerakan literasi sekolah. Kegiatan yang
melibatkan semua warga sekolah dengan memaksimalkan semua ruang publik untuk
tujuan warga yang berliterat.
Buku-buku sebagai ujung tombak literasi perlu disediakan.
Cara termudah adalah dengan Sedekah Buku.
Pemberi sedekah secara sukarela dimintakan pada warga sekolah.
4.3. Memaksimalkan Model (Media
Sosial Elektronik)
Strategi ini mengajak siswa untuk
mempublikasikan hasil karyanya. Karya tulis siswa dapat di publikasikan di media
publikasi sekolah. Media yang langsung bersentuhan dengan siswa, dapat berupa
majalah sekolah (bila memiliki majalah sekolah) atau majalah dinding. Selain
strategi publikasi di dalam sekolah, guru juga dapat mempublikasikan karya
siswa di media surat kabar lokal dan nasional. Pilih terbaik siswa dan kirimkan
ke media surat kabar, cara ini dapat memotivasi siswa yang menulis dan siswa
lainnya untuk berkarya.
Sejalan dengan perkembangan teknologi,
publikasi karya dapat juga memanfaatkan web sekolah sebagai salah satu bagian
dari prestasi sekolah yang bisa diakses oleh siapa saja. selain itu manfaatkan
blog sebagai publikasi yang sederhana dengan memanfaatkan IT. Tentu saja guru
harus terlebih dahulu memiliki blog sendiri.
Pemanfaatan
teknologi dalam kemampuan mengakses jangan jadikan budaya yang hanya bisa
menyalin saja ketika menulis. Hal ini perlu ditegaskan pada siswa agar tidak
tumbuh gemar menyalin bukan gemar menulis. Budaya salin-tempel (copy-paste) menjadikan teknologi
informasi yang ada sebagai unsur utama dalam menulis. Apa saja bisa dicari dan
apa saja bisa disalin. Budaya seperti inilah yang membuat kemampuan tulisan
siswa tidak pernah tumbuh dan berkembang. Menurut A.M. Fatwa dalam buku
Suherman (2010: 112) bahwa teknologi informasi telah menjadi media hiburan yang
tidak jarang meninabobokan budaya baca yang sebenarnya merupakan akar dari
kebangkitan teknologi itu sendiri. Hal ini patut kita camkan bersama karena
maju mundurnya sebuah bangsa ditentukan oleh tinggi rendahnya budaya baca
masyarakatnya.
5. Evaluasi dalam Lomba Literasi
Adakan berbagai lomba dengan tujuan
literasi antara lain; Menjadikan hari sumpah pemuda untuk ajang lomba literasi.
Menghidupkan kembali ujian kompetensi mengarang. Libatkan siswa untuk selalu
mengikut lomba-lomba di luar lomba yang diadakan sekolah agar tumbuh minat
baca-tulis siswa. Sekolah dapat menyelenggarakan pemilihan duta literasi di
kelas dan sekolah.
Lomba yang diadakan juga dapat
memotivasi siswa untuk berprestasi. Prestasi siswa dapat memunculkan motivasi
dalam diri siswa dan pada diri siswa lainnya. Selain itu lomba yang diadakan
dapat diketahui kemampuan yang dimiliki siswa.
Selain strategi yang disiapkan sekolah untuk mewujudkan Gerakan Literasi
Sekolah, warga sekolah perlu melakukan sesuatu agar dapat menumbuhkan dan selanjutnya
meningkatkan minat bacanya, yaitu: 1) siswa harus diyakinkan gemar membaca
merupakan hal yang terbaik untuk dapat bersaing di era global karena banyak
informasi yang didapatkan, 2) membaca itu dengan hati yang tulus sehingga apa
yang dibaca akan dapat terasa dalam hati dan pikiran, 3) perpustakaan adalah
gudang ilmu, seringlah mengunjungi perpustakaan setiap ada waktu luang dan
menemukan buku bacaan, 4) tanamkan pada siswa untuk menyisihkan uangnya untuk
membeli buku sebagai sarana untuk menambah wawasan dan pengetahuan 5) isilah
waktu yang kosong dengan membaca bahan bacaan bukan sekadar diam, termangu
tanpa melakukan kegiatan, 6) catatlah setiap ada informasi penting dari buku
yang dibaca, dan 7) buku juga sebuah hiburan yang menyenangkan jadikan buku
sebagai hiburan yang bermanfaat, dan 8) apa yang kita baca dapat kita
informasikan pada teman sebagai bahan diskusi yang baik.
E.
Penutup
Gerakan
Literasi Sekolah dapat menumbuhkembangkan budi pekerti. Budi
pekerti siswa akan lebih baik bila mereka lebih banyak mengonsumsi bacaan
pilihan serta keteladanan orang-orang di sekitarnya. Keluarga, teman sebaya,
sekolah dengan semua jajarannya, serta masyarakat luas sangat mempengaruhi budi
pekerti siswa. Masalah besar yang kita hadapi sekarang adalah minimnya sosok
yang bisa diteladani oleh siswa. Ada kontradiksi antara dunia idealisme yang
diterima di sekolah dengan realita dalam media elektronik dan media sosial.
Siswa gamang dalam mengenali dirinya sendiri di tengah kegelisahan yang terjadi
di lingkungan sekitarnya. Apa yang mereka dengar, apa yang mereka baca menjadi suatu
referensi untuk literasi siswa.
Kondisi
masyarakat di suatu daerah secara tidak langsung akan menggambarkan hasil
pendidikan di daerah tersebut. Di negara-negara yang potret pendidikannya sudah
maju seperti Denmark, Selandia Baru, Finlandia, dan Jepang fokus pendidikan
menitikberatkan pada penumbuhan budi pekerti bagi anak-anak. Budi pekerti bukan
sekadar pembiasaan, kebiasaan menjadi komponen dari budi pekerti dengan
literasi yang tumbuh kembang, maka budi pekerti juga akan semakin baik.
Ekosistem pendidikan
menjadi salah satu strategi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam
menumbuhkembangkan literasi di sekolah. Langkah itu diharapkan dapat menjadi
tujuan yang hendak dicapai setiap sekolah, demi meningkatkan kualitas
pendidikan di Indonesia.Ada empat fase dalam menumbuhkan literasi dalam ekosistem
pendidikan, yaitu diajarkan, dibiasakan, dilatih konsisten dan saat sudah
menjadi kebiasaan, tentu akan menjadi sebuah kebudayaan.
Budaya membaca memang menjadi mahal jika melihat kebutuhan
masyarakat yang semakin meningkat. Di tengah kebutuhan hidup yang semakin
tinggi, masyarakat belum berpikir untuk menjadikan buku sebagai menu utama
dalam daftar belanjanya. Hal ini dimaklumi karena rendahnya kualitas hidup
masyarakat. Pengetahuan masyarakat rendah karena budaya membaca masyarakat
rendah.
Sebuah upaya
yang dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjadikan sekolah
sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui
pelibatan publik. Cara
dan strategi yang dibangun akan
mempengaruhi hasil literasi siswa yang akan diperoleh secara maksimal jika
memang dilaksanakan dengan melibatkan ekosistem pendidikan. Semoga apa yang
dilakukan dengan pelibatan ekosistem pendidikan dapat menumbuhkan budi pekerti
dan mendukung peningkatan literasi pada siswa khususnya dan masyarakat
Indonesia pada umumnya. Seperti harapan Kemendikbud terwujudnya
ekosistem pendidikan yang hidup dimana adanya saling interaksi diantara orang
tua, guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, dinas pendidikan, dan masyarakat
untuk memajukan pendidikan di Indonesia.
Daftar
Pustaka
Adri, Muhammad. 2008. Guru Go Blog. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo
Eneste, Pamusuk (ed). 2009. Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya
Mengarang (Jilid 4). Jakarta: Gramedia.
Hernowo. 2005. Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar secara Menyenangkan.
Bandung: Mizan Media Utama.
Kemdikbud. 2015. Desain
Induk Gerakan Literasi Sekolah, Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Komaidi, Didik. 2011. Panduan Menulis Kreatif. Yogjakarta:
Sabda Media.
Leo, Sutanto. 2010. Kiat Jitu Menulis dan Menerbitkan Buku.
Erlangga: Jakarta
Suherli. 2014. Kreativitas Menulis. Yogjakarta: Ombak.
Suherman. 2010. Bacalah! Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban. Bandung: MQS Publishing.
Sukardi, Edy. 2012. Pembelajaran Menulis. Jakarta: Uhamka
Press.
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M.
1991. Apresiasi Kesusastraan.
Jakarta: Gramedia.
Suryaman, M. 2015. “Buku Teks Pelajaran”, (Panduan
Penulisan dari Aspek Materi, Penyajian/Pembelajaran dan Bahasa) yang
diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan Kemdikbud RI.
Kompas edisi 3 Februari 2016
Permendikbud
No 23 Tahun 2015
Sumber
Internet