Tuesday, May 23, 2017

LITERASI


STRATEGI MENUMBUHKAN BUDI PEKERTI DAN  MENDUKUNG GERAKAN LITERASI SEKOLAH
DENGAN MEMAKSIMALKAN EKOSISTEM PENDIDIKAN



Ditulis oleh
Dra. Hj. Seni Asiati, M.Pd
(Komunitas REM 15)







SMP Negeri 266
Jalan Cilincing Bhakti VI No.29 Jakarta Utara
Telepon (021) 4402745
A. Pendahuluan
Dalam ekosistem, organisme dalam komunitas berkembang bersama-sama dengan lingkungan fisik sebagai suatu sistem. Organisme akan beradaptasi dengan lingkungan fisik, sebaliknya organisme juga memengaruhi lingkungan fisik untuk keperluan hidup.
Sebagai ekosistem pendidikan, guru merupakan individu yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara tamu dengan lingkungan. Dalam hal ini siswa dan lingkungan sekolah, beserta sarana dan prasarananya dalam menunjang pembelajaran. Ekosistem dapat dianggap sebagai suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara semua elemen lingkungan yang mempengaruhi satu sama lain. Sayangnya ekosistem pendidikan kita belum terbangun karena penumbuhan budi pekerti belum menyentuh pembentukan kultur sekolah sebagai komunitas moral. Sekolah sebagai bagian dari ekosistem pendidikan masih belum menumbuhkan semangat literasi bagi siswa. Contoh nyata dari tidak adanya ekosistem pembelajaran yang menjadikan lembaga pendidikan sebagai komunitas moral / budi pekerti adalah adanya inkonsistensi kebijakan. Literasi di sekolah masih kepunyaan guru bahasa Indonesia. Sementara ekosistem di sekolah mencangkup semua guru yang mengajar, kepala sekolah, komite, staf tata usaha di sekolah bahkan alumni dapat dilibatkan dalam gerakan literasi sekolah.
Kegiatan literasi selama ini identik dengan aktivitas membaca dan menulis. Namun, Deklarasi Praha pada tahun 2003 menyebutkan bahwa literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya (UNESCO, 2003).
B.  Literasi Mewujudkan Budi Pekerti
Secara antropologis, peradaban modern dimulai dengan penemuan teknologi literasi (baca-tulis). Sejarah bangsa-bangsa purba yang sejak lama menemukan dan mengembangkan teknologi literasi (Mesir dan negara–negara teluk lainnya serta Tiongkok misalnya) terbukti memberikan sumbangan yang signifikan terhadap peradaban modern. Dengan teknologi literasi itu dilakukan pencatatan apa yang dipikirkan, apa yang terjadi, dan dunia imajinasi masyarakat yang kemudian semua itu disebut peradaban. Dengan demikian peradaban itu bersambung-bertemali bahkan dikembangkan oleh generasi baru dengan kreasi, tuntutan, dan tantangan baru.
Khazanah literal purba suatu bangsa menunjukkan betapa pentingnya kompetensi literasi itu dalam perjalanan sejarah kemanusiaan berabad kemudian. Bangsa Tiongkok sejak zaman purba telah dikenal dalam dunia pengobatan. Bangsa-bangsa di Timur Tengah sejak zaman Purba telah menyumbang ilmu di bidang astronomi, matematika, dan kedokteran modern. Perkembangan di kemudian hari, bangsa lain yang lebih mampu membaca literatur purba itu berperan besar dalam pengembangannya melalui penyaduran dan penerjemahan. Intinya, peradaban canggih yang terkini sampai yang akan datang dimulai dan dikembangkan dari simbol-simbol literasi yang paling purba.
Budaya literasi merupakan suatu proses sekaligus hasil dari pergulatan (dialektika) antara apa yang dikehendaki (karsa), suasana batin (rasa), dan apa yang dilakukan (karya) manusia dalam rangka meningkatkan kualitas hidup. Ada pertautan antara tingkat penguasaan literasi dengan kualitas hidup masyarakat. Semakin maju masyarakat atau bangsa ditunjukkan dengan tingkat budaya baca-tulis yang tinggi pula. Budaya baca-tulis (sebagaimana firman Allah dalam al Quran surah al Alaq: Iqro) terbukti memberikan pencerahan untuk hidup yang lebih baik dan berkualitas.
Kebudayaan modern dimulai dari penemuan teknologi literasi. Teknologi literasi memungkinkan pencatatan dan pengembangan kesejarahan manusia. Khazanah literal purba suatu bangsa menunjukkan betapa pentingnya kompetensi literasi menentukan perjalanan sejarah kemanusiaan berabad kemudian. Kompetensi literasi merupakan penentu pencapaian ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sampai pada penghayatan dan aktualisasi nilai religi masa kini. Budaya literasi merupakan proses sekaligus hasil dialektika antara karsa, rasa, dan cipta manusia dalam meningkatkan kualitas hidup. Budaya literasi dapat mengasah kepekaan, ketajaman, dan kecendekiaan rasa yang kemudian berwujud pada keluhuran budi pekerti.
Pada akhirnya budaya literasi dapat mengasah kepekaan (sensitivitas), ketajaman, dan kecendikiaaan akal dan hati yang dalam wujud kesehariannya disebut budi pekerti atau akhlak. Oleh karena itu, kita berupaya menumbuhkembangkan budaya baca-tulis agar siswa (dan kita semua) lebih tercerahkan akal dan hati kita sehingga mampu membangun keluhuran budi pekerti atau akhlakul karimah.
C. Memperbaiki Keadaan Baca-Tulis dengan Memaksimalkan Ekosistem Sekolah
Literasi dalam konteks GLS merupakan kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan informasi secara cerdas melalui berbagai aktivitas al membaca, melihat, menyimak, menulis, dan /atau berbicara.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Ikapi, Indonesia hanya menerbitkan sekitar 24.000 judul buku per tahun dengan rata-rata cetak 3.000 eksemplar per judul. Menurut Mulyana dalam Sutanto (2010: 4) keadaan ini masih kalah jauh dibandingkan dengan Jepang yang menerbitkan 40.000 judul, Inggris 60.000 judul, dan Amerika 100.000 judul pertahun .  Hal ini tidak sesuai dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih 240 juta jiwa. Bila dihitung berarti orang Indonesia hanya membaca satu buku dan itu pun dibaca oleh 3-4 orang. Standar yang ditetapkan UNESCO idealnya satu orang membaca tujuh buku pertahun.
Asumsi ini berkesimpulan bahwa minat baca orang Indonesia masih rendah.  Mulyana (2004:13) menyatakan bahwa semakin tinggi minat baca masyarakat, semakin banyak pulalah penulis pada masyarakat tersebut, begitupun sebaliknya. Orang tidak tergerak hatinya untuk menulis bila masyarakatnya tidak gemar membaca. Bagaimana minat baca akan timbul bila bahan bacaan yang menjadi mendorong saja terbatas tidak banyak pilihan bacaan, sulit didapat, mahal harganya, dan mungkin saja bacaan tersebut tidak menarik atau tidak menimbulkan rasa ingin membaca.
Menurut Sutanto (2010:5) ketidaklengkapan buku di pasar dan tingginya harga menjadi problem yang nyata di Indonesia. Sesungguhnya keberadaan buku yang bagus di pasaran masih amat terbatas. Mayoritas buku yang bagus adalah buku asing dan sebagaimana produk asing pada umumnya, harganya biasanya mahal. Begitu sulitnya mendorong kegiatan literasi di Indonesia menjadi pemikiran yang mendalam dan pekerjaan rumah pemerintah.
Prof. Dr. Ki Supriyoko, M.Pd. dalam tulisannya dengan judul “Minat Baca dan Kualitas Bangsa” di Harian Kompas Selasa, 23 Maret 2004, menyatakan: “ Secara teoritis ada hubungan yang positif antara minat baca (reading interest) dengan kebiasaan membaca (reading habit) dan kemampuan membaca (reading ability). Rendahnya minat baca masyarakat menjadikan kebiasaan membaca yang rendah, dan kebiasaan membaca yang rendah ini menjadikan kemampuan membaca rendah. Itulah yang sedang terjadi pada masyarakat kita sekarang ini.”
Berdasarkan hasil survei PISA mengenai tingkat literasi anak di Indonesia pada tahun 2009 berada pada urutan ke 62 dari 72 negara. Dan pada tahun 2012, Indonesia urutan 64 dari 65 negara yang diteliti. Begitu mirisnya mengetahui bahwa literasi bangsa kita jauh di bawah bahkan terbawah bayangkan dari 64 hanya ada satu negara di bawah negara kita.
Sebenarnya sudah banyak cara yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki keadaan dan menumbuhkembangkan budaya baca-tulis masyarakat Indonesia, antara lain:
1.      Pemberdayaan perpustakaan keliling,
2.      Aplikasi perpustakaan digital,
3.      Gerakan Indonesia Membaca dan Menulis yang digagas oleh Badan Bahasa Kemdikbud), dan
4.      dan yang baru saja dicanangkan adalah gerakan literasi sekolah.
Suherman dalam bukunya (2010:71) menuliskan “untuk menuju perubahan budaya (budaya membaca), langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan cara mengubah paradigma jika kita ingin menggali lebih banyak manfaat dari membaca. Kita harus mulai menempatkan minset ke jalan yang benar bahwa membaca adalah sebuah kebutuhan jika ingin bertahan hidup dalam persaingan global yang semakin ketat.”
Sudah saatnya semua bergerak memperbaiki keadaan akan literasi bangsa kita merangkak naik ke urutan yang patut diperhitungkan. Memperbaiki keadaan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, bila semua bergerak kita pasti bisa. Memperbaiki keadaan memang bisa dimulai dari semua lini salah satunya gerakan literasi sekolah. Gerakan Literasi Sekolah adalah gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca siswa. Pembiasaan ini dilakukan dengan kegiatan 15 menit membaca (kegiatan ini dilakukan oleh semua warga sekolah tidak terkecuali para karyawan tata usaha, disesuaikan dengan konteks atau target sekolah).
Kegiatan literasi sekolah ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca siswa serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan sesuai tahap perkembangan siswa. Terobosan penting ini hendaknya melibatkan semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan.
Pelibatan orang tua siswa dan masyarakat juga menjadi komponen penting dalam gerakan literasi sekolah. Semua elemen yang terdapat dalam ekosistem pendidikan menjadi kesatuan yang utuh dalam menumbuhkan literasi. Budaya baca yang ditanamkan dari kecil atau di rumah menjadi modal dasar untuk menumbuhkan literasi yang lebih baik.  Literasi yang dilaksanakan dengan  menumbuhkembangkan budi pekerti siswa dengan memaksimalkan ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah bertujuan agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Literasi sekolah bila dimaksimalkan akan menjadikan bangsa ini khususnya anak Indonesia menjadikan baca-tulis sebagai budaya hidup  bukan gaya hidup. Tujuan literasi dalam memperbaiki keadaan dengan memaksimalkan ekosisten pendidikan:
1.      Menumbuhkembangkan budaya literasi membaca dan menulis siswa di sekolah,
2.      Meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar literat,
3.      Menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan, dan
4.      Menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan menghadirkan beragam buku bacaan dan mewadahi berbagai strategi membaca.
Setiap siswa yang saya tugaskan menulis pasti akan menjawab; sulitnya memulai menulis. Keadaan inilah yang membuat literasi siswa tidak tumbuh dan berkembang. Menurut Sutanto (2010: 12) memulai menulis itu ibarat orang yang memulai lari kecil (jogging). Penulis yang berhasil menjadikan kegiatan menulisnya sebagai suatu kebiasaan  writing is a habbit. Tiada hari tanpa menulis, kemampuan literasinya akan tumbuh dan berkembang. Untuk memperbaiki keadaan ini jangan ragu untuk terus mendorong siswa bahwa apa saja bisa menjadi bahan tulisan walau yang dihasilkan mungkin hanya satu kalimat.
D. Strategi Literasi di Sekolah
Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti merupakan langkah untuk memperkuat regulasi pembentukan karakter di lingkungan pendidikan. Setiap sekolah seharusnya menjadi tempat yang nyaman dan inspiratif bagi siswa, guru, dan/atau tenaga kependidikan.  Era keterbukaan informasi, mempermudah kita menulis dan menerbitkan tulisan. Jumlah buku yang diterbitkan meningkat. Teknologi informasi menambah luas dan memperkaya sumber informasi. Sumber informasi berbasis teknologi lebih menarik? Bagaimana dengan perpustakaan sekolah kita? Bagaimana dengan suasana pembelajaran kita, apakah mempunyai daya dukung terhadap pertumbuhan minat baca dan tulis? Beberapa pertanyaan tersebut dapat dijawab oleh semua warga sekolah sebagai ekosistem pendidikan.
Gerakan literasi ini merupakan tindak lanjut tentang Permendikbud 21/2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Berdasarkan Permendikbud tersebut disebutkan setiap siswa hendaknya membaca buku minimal 15 menit setiap harinya di sekolah. Gerakan literasi di sekolah sebenarnya tidak cukup untuk menumbuhkan minat baca-tulis siswa. Namun demikian kegiatan literasi disekolah sedikit banyak menyumbang tumbuhnya budi pekerti bagi siswa. Banyak pesimisme dengan gerakan literasi sekolah ini.  Hal itu memang sudah bisa diprediksi karena setiap langkah untuk memulai sesuatu yang positif pastilah ada pro dan kontra. Hal yang lebih menarik adalah menangkap suatu informasi penting tentang sejauh mana orang memahami gerakan literasi tersebut. Apalagi jika gerakan literasi dikait-kaitkan dengan urgensi transformasi sosial.
Pertanyaan-pertanyaan seputar gerakan literasi sekolah ini mungkin bisa kita kaji untuk mencari strategi yang tepat dalam menumbuhkembangkan literasi siswa. Bagaimana suasana literal lingkungan keluarga siswa sebagai bagian inti dari ekosistem pendidikan? Bagaimana suasana literal masyarakat di sekeliling siswa? Teknologi dan industri audio-visual sebagai pupuk (pemacu) atau benalu (pengganggu)?
Beberapa guru sudah melaksanakan literasi di sekolah dengan beragam strategi yang menarik agar siswa tumbuh minat untuk membaca dan menulis. Bila saya ditanya adakah strategi jitu untuk menumbuhkan minat baca-tulis siswa? Sebagai seorang guru tentunya saya mempunyai strategi agar siswa saya dapat termotivasi untuk membaca dan menulis. Sebenarnya apapun yang mereka baca asalkan bahan bacaan tersebut masih bisa menjadi tuntunan untuk mereka syah-syah saja mereka baca.
Guru bahasa Indonesia pastinya pintar membaca dan mahir menulis. Kalimat itu bukannya tanpa alasan diungkapkan oleh guru mata pelajaran lain. Hal ini mereka ungkapkan ketika saya katakan bahwa literasi itu milik semua bukan hanya guru bahasa Indonesia. Sebagai ekosistem pendidikan semua harus empati, peduli, bersemangat, dapat berkontribusi, dan berperan dalam menumbuhkan budi pekerti siswa dengan menggalakkan literasi. Setiap guru pasti memiliki strategi ketika ia mengajar. Strategi-strategi yang saya praktikkan dalam gerakan literasi adalah hasil dari pengalaman sebagai guru. Walau terkadang strategi itu belum memperoleh hasil yang memuaskan.
Beberapa strategi yang dapat digunakan dalam menumbuhkembangkan minat baca-tulis  di sekolah, antara lain sebagai berikut:
1.      Mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi
Sarana dan prasarana di sekolah harus ramah. Arti ramah disini adalah lingkungan disediakan dekat dan mengaktualisasikan diri anak untk mudah menemukan tempat membaca. Misalnya: sudut-sudut baca, kantong-kantong baca, tempat duduk baca yang disediakan sekolah dengan nyaman. Semua tempat baca yang disediakan diisi buku yang sifatnya menambah pengetahuan dan hiburan pada siswa bukan buku pelajaran. Buat juga tempat untuk wadah menampung karya siswa. Sekolah menyiapkan format laporan hasil membaca. 
Semua ruang kosong dan lingkungan sekolah kaya akan teks sebagai upaya memaksimalkan literasi baca sekilas pandang.
2. Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif melalui REM 15 (Relawan Membaca 15 menit)
Minat untuk belajar akan tumbuh jika siswa ada di lingkungan sosial yang baik. Semua ekosistem sekolah berliterasi dan saling menghargai. Kalau selama ini guru ingin dihargai, sepatutnya guru juga dapat menghargai siswa. Hernowo dalam bukunya menuliskan  bahwa apabila dalam diri seseorang tidak timbul gairah untuk mengajar atau belajar tentang hal-hal yang akan diajarkan atau dipelajarinya, maka di dalam lingkungan belajar-mengajar itu agak sulit ada kegembiraan (2005:19).  Hal ini sejalan dengan minat anak dan penghargaan yang ia terima karena kegairahan dalam menerima apa yang dipelajari dan penghargaan yang ia terima.
REM 15 adalah salah satu upaya memberikan penghargaan pada siswa. Penghargaan terhadap siswa memang tidaklah sulit. Ketika ada yang membacakan puisi karya siswa, siswa tersebut merasa ada penghargaan yang ia terima atas jerih payahnya. Memberikan kegembiraan ketika kegiatan belajar mengajar sudah membuat anak dihargai.
Bentuklah Relawan Membaca 15’ dari siswa untuk siswa. Tugas REM 15 ini adalah melaporkan sudut-sudut baca dan kantong-kantong  yang memerlukan buku. Selain itu REM 15 juga menjadi relawan untuk membaca dan bercerita di depan siswa lain dalam kegiatan pembinaan pada siswa di lapangan. Pembina GLS menyiapkan prosedur operasi standar sebagai acuan untu REM 15.
Secara berkala REM 15 bergantian untuk kegiatan ini dengan membacakan karya siswa dari hasil membaca buku. Apresiasi ini dapat dilakukan sebulan sekali, penghargaan terhadap hasil karya siswa dapat berupa kumpulan hasil karya siswa yang dijadikan buku.
3.      Mengupayakan warga sekolah mendukung sekolah sebagai lingkungan akademik yang literat
Literasi bukan hanya melibatkan guru bahasa Indonesia. Semua ekosistem sekolah ikut mendukung gerakan literasi sekolah. Kegiatan yang melibatkan semua warga sekolah dengan memaksimalkan semua ruang publik untuk tujuan warga yang berliterat.
Buku-buku sebagai ujung tombak literasi perlu disediakan. Cara termudah adalah dengan Sedekah Buku. Pemberi sedekah secara sukarela dimintakan pada warga sekolah.
4.3. Memaksimalkan Model (Media Sosial Elektronik)
Strategi ini mengajak siswa untuk mempublikasikan hasil karyanya. Karya tulis siswa dapat di publikasikan di media publikasi sekolah. Media yang langsung bersentuhan dengan siswa, dapat berupa majalah sekolah (bila memiliki majalah sekolah) atau majalah dinding. Selain strategi publikasi di dalam sekolah, guru juga dapat mempublikasikan karya siswa di media surat kabar lokal dan nasional. Pilih terbaik siswa dan kirimkan ke media surat kabar, cara ini dapat memotivasi siswa yang menulis dan siswa lainnya untuk berkarya.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, publikasi karya dapat juga memanfaatkan web sekolah sebagai salah satu bagian dari prestasi sekolah yang bisa diakses oleh siapa saja. selain itu manfaatkan blog sebagai publikasi yang sederhana dengan memanfaatkan IT. Tentu saja guru harus terlebih dahulu memiliki blog sendiri.
Pemanfaatan teknologi dalam kemampuan mengakses jangan jadikan budaya yang hanya bisa menyalin saja ketika menulis. Hal ini perlu ditegaskan pada siswa agar tidak tumbuh gemar menyalin bukan gemar menulis. Budaya salin-tempel (copy-paste) menjadikan teknologi informasi yang ada sebagai unsur utama dalam menulis. Apa saja bisa dicari dan apa saja bisa disalin. Budaya seperti inilah yang membuat kemampuan tulisan siswa tidak pernah tumbuh dan berkembang. Menurut A.M. Fatwa dalam buku Suherman (2010: 112) bahwa teknologi informasi telah menjadi media hiburan yang tidak jarang meninabobokan budaya baca yang sebenarnya merupakan akar dari kebangkitan teknologi itu sendiri. Hal ini patut kita camkan bersama karena maju mundurnya sebuah bangsa ditentukan oleh tinggi rendahnya budaya baca masyarakatnya.
5.      Evaluasi dalam Lomba Literasi
Adakan berbagai lomba dengan tujuan literasi antara lain; Menjadikan hari sumpah pemuda untuk ajang lomba literasi. Menghidupkan kembali ujian kompetensi mengarang. Libatkan siswa untuk selalu mengikut lomba-lomba di luar lomba yang diadakan sekolah agar tumbuh minat baca-tulis siswa. Sekolah dapat menyelenggarakan pemilihan duta literasi di kelas dan sekolah.
Lomba yang diadakan juga dapat memotivasi siswa untuk berprestasi. Prestasi siswa dapat memunculkan motivasi dalam diri siswa dan pada diri siswa lainnya. Selain itu lomba yang diadakan dapat diketahui kemampuan yang dimiliki siswa.

Selain strategi yang disiapkan sekolah untuk mewujudkan Gerakan Literasi Sekolah, warga sekolah perlu melakukan sesuatu agar dapat menumbuhkan dan selanjutnya meningkatkan minat bacanya, yaitu: 1) siswa harus diyakinkan gemar membaca merupakan hal yang terbaik untuk dapat bersaing di era global karena banyak informasi yang didapatkan, 2) membaca itu dengan hati yang tulus sehingga apa yang dibaca akan dapat terasa dalam hati dan pikiran, 3) perpustakaan adalah gudang ilmu, seringlah mengunjungi perpustakaan setiap ada waktu luang dan menemukan buku bacaan, 4) tanamkan pada siswa untuk menyisihkan uangnya untuk membeli buku sebagai sarana untuk menambah wawasan dan pengetahuan 5) isilah waktu yang kosong dengan membaca bahan bacaan bukan sekadar diam, termangu tanpa melakukan kegiatan, 6) catatlah setiap ada informasi penting dari buku yang dibaca, dan 7) buku juga sebuah hiburan yang menyenangkan jadikan buku sebagai hiburan yang bermanfaat, dan 8) apa yang kita baca dapat kita informasikan pada teman sebagai bahan diskusi yang baik.
E. Penutup
Gerakan Literasi Sekolah dapat menumbuhkembangkan budi pekerti. Budi pekerti siswa akan lebih baik bila mereka lebih banyak mengonsumsi bacaan pilihan serta keteladanan orang-orang di sekitarnya. Keluarga, teman sebaya, sekolah dengan semua jajarannya, serta masyarakat luas sangat mempengaruhi budi pekerti siswa. Masalah besar yang kita hadapi sekarang adalah minimnya sosok yang bisa diteladani oleh siswa. Ada kontradiksi antara dunia idealisme yang diterima di sekolah dengan realita dalam media elektronik dan media sosial. Siswa gamang dalam mengenali dirinya sendiri di tengah kegelisahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Apa yang mereka dengar, apa yang mereka baca menjadi suatu referensi untuk literasi siswa.
Kondisi masyarakat di suatu daerah secara tidak langsung akan menggambarkan hasil pendidikan di daerah tersebut. Di negara-negara yang potret pendidikannya sudah maju seperti Denmark, Selandia Baru, Finlandia, dan Jepang fokus pendidikan menitikberatkan pada penumbuhan budi pekerti bagi anak-anak. Budi pekerti bukan sekadar pembiasaan, kebiasaan menjadi komponen dari budi pekerti dengan literasi yang tumbuh kembang, maka budi pekerti juga akan semakin baik.
Ekosistem pendidikan menjadi salah satu strategi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menumbuhkembangkan literasi di sekolah. Langkah itu diharapkan dapat menjadi tujuan yang hendak dicapai setiap sekolah, demi meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.Ada empat fase dalam menumbuhkan literasi dalam ekosistem pendidikan, yaitu diajarkan, dibiasakan, dilatih konsisten dan saat sudah menjadi kebiasaan, tentu akan menjadi sebuah kebudayaan.
Budaya membaca memang menjadi mahal jika melihat kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Di tengah kebutuhan hidup yang semakin tinggi, masyarakat belum berpikir untuk menjadikan buku sebagai menu utama dalam daftar belanjanya. Hal ini dimaklumi karena rendahnya kualitas hidup masyarakat. Pengetahuan masyarakat rendah karena budaya membaca masyarakat rendah.
Sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik. Cara dan strategi yang dibangun  akan mempengaruhi hasil literasi siswa yang akan diperoleh secara maksimal jika memang dilaksanakan dengan melibatkan ekosistem pendidikan. Semoga apa yang dilakukan dengan pelibatan ekosistem pendidikan dapat menumbuhkan budi pekerti dan mendukung peningkatan literasi pada siswa khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Seperti harapan Kemendikbud terwujudnya ekosistem pendidikan yang hidup dimana adanya saling interaksi diantara orang tua, guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, dinas pendidikan, dan masyarakat untuk memajukan pendidikan di Indonesia.










Daftar Pustaka

Adri, Muhammad. 2008. Guru Go Blog. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Eneste, Pamusuk (ed). 2009. Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (Jilid 4). Jakarta: Gramedia.
Hernowo. 2005. Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar secara Menyenangkan. Bandung: Mizan Media Utama.
Kemdikbud. 2015. Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Komaidi, Didik. 2011. Panduan Menulis Kreatif. Yogjakarta: Sabda Media.
Leo, Sutanto. 2010. Kiat Jitu Menulis dan Menerbitkan Buku. Erlangga: Jakarta
Suherli. 2014. Kreativitas Menulis. Yogjakarta: Ombak.
Suherman. 2010. Bacalah! Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban.  Bandung: MQS Publishing.
Sukardi, Edy. 2012. Pembelajaran Menulis. Jakarta: Uhamka Press.
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Suryaman, M. 2015. “Buku Teks Pelajaran”, (Panduan Penulisan dari Aspek Materi, Penyajian/Pembelajaran dan Bahasa) yang diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan Kemdikbud RI.
Kompas edisi 3 Februari 2016
Permendikbud No 23 Tahun 2015 
Sumber Internet

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah memberikan komentar dan masukan

Back Home Pasien Covid

Good bye Wisma Atlet Hari ke-14 di Wisma Atlet "Menunggu Surat" Senin, 4 Januari 2021 Ini hari ke-14 di Wisma Atlet. Katanya kami ...