KETIKA
BADAI ITU DATANG
(Bunda
NaRa)
Brukkk
Mas Edi pulang dengan wajah yang kuyu
dan dihempaskan tubuhnya yang besar dengan kasar ke sofa kami yang mulai reot.
“Maunya apa sih pemerinta bikin libur
semua,” kata-kata kasar terdengar di rumah kami. Untungnya anak-anak sudah di
kamar semoga sudah tidur.
“Kenapa, mas tidak ada penumpang lagi?”
tanyaku sambil meletakkan teh hangat di atas meja.
“Pakai tanya lagi, sudah dua hari ada ga
aku kasih kamu setoran,” katanya dengan nada marah.
Yah sudah dua hari tak ada uang yang
disetorkan mas Edi padaku. Dua hari ini aku tak menagih karena situasi dan
kondisi mas Edi yang selalu marah kalau pulang. Aku tak ingin bertengkar dan
sudah malam pula. Energi harus dihemat katanya imun akan bekerja baik kalau
pikiran dan hati kita tenang. Sudah dua minggu semenjak musibah pandemik yang
katanya corona sebagian bilang covid 19 melanda Indonesia. Daerahku yang
terimbas duluan karena kota besar.
Mas Edi supir ojek online dan terkena
imbas lebih dulu. Tiga tahun yang lalu pemutusan hubungan kerja menyebabkan ia
harus bekerja sebagai tukang ojek online. Mulanya aman saja karena mas Edi
mencukupi dengan ojek online motor. Lowongan kerja untuk pekerja seusia mas Edi
yang sudah kepala 4 susah sekali. Itu pun pekerja kasar. Adik mas Edi sudah
lebih dulu jadi ojek online. Tawaran itu menggiurkan, motor kami punya dan mas Edi
tinggal mendaftar.
Musim penghujanlah yang memicu mas Edi
selalu marah. Aku sudah biasa mendengar dia marah dari awal pernikahan.
Entahlah mengapa aku mau dipersunting olehnya. Aku berpikir mas Edi akan
berubah karena aku tahu cintanya padaku luar biasa.
“Mah, kita ganti motor dengan mobil,
lebih banyak penghasilannya,” diskusi kami malam itu. Hujan masih deras baju
mas Edi basah. Seperti biasa ia meruntuk hujan yang turun.
“Maksudnya bagaimana, Mas?” tanyaku
sambil membereskan pakaian mas Edi yang diletakkan begitu saja di lantai.
“Aku narik mobil, dan kita ambil mobil,”
mas Edi melanjutkan idenya.
“Harus pakai uang muka, Mas darimana,”
tanyaku sambil tertunduk. Aku berharap mas Edi tidak menanyakan uang tabungan
kami untuk membeli rumah. Semenjak menikah aku berusaha irit dan membantunya
bekerja setelah anak-anak bisa kutinggal mandiri. Si kecil sudah kelas 1 SMP
aku mulai bekerja di sebuah pusat kebugaran merangkap salon. Penghasilanku
lumayan apalagi kalau banyak pelanggan. Sedikit demi sedikit penghasilanku aku
tabung. Salahnya aku mas Edi tahu aku punya tabungan , yang rencananya untuk
membeli rumah kecil untuk kami tempati biar tidak kontrak terus yang harga
sewanya setiap bulan naik.
“Ah, belagak bodoh Kau, mana buku
tabunganmu,” yang kutakutkan terjadi mas Edi minta buku tabunganku. Ingin
rasanya menjerit karena uang itu hasil jerih payahku.
“Itu untuk membeli rumah Mas, aku kerja
supaya bisa menabung,” aku masih memohon.
“Kau ga kasihan sama suamimu ini, hujan
basah semua, panas luar biasa pening kepala oh, Kau mau bikin mati suami biar
Kau bisa kawin lagi,” suara mas Edi memuncak. Aku terdiam dan beranjak ke kamar
kulihat anakku masih belajar dan menatapku sedih.
“Mah, ga apa-apa kan sama bapak?”
tanyanya lembut. Aku hanya bisa tersenyum.
“Ga, Kak bapak mau beli mobil biar kita
bisa pergi sama-sama kalau ke mall,” jawabanku yang mulai ngawur.
“Asyik, ntar kita ke puncak ya Mah aku
ingin ke tempat wisata yang baru,” mungkin ini kesempatan juga menyenangkan
buah hatiku. Mereka selalu naik angkot atau ikut saudara kalau ingin wisata.
Aku bulatkan tekad mungkin ini rezeki keluarga kecil kami.
“Ini, Mas semoga cukup untuk uang muka,”
aku sodorkan buku tabunganku.
“Nah, cukup ini ada tiga puluh lima
juta,” suaranya tertawa senang. Ah seandainya sikapnya pun ramah dan
menyenangkan, mungkin ada air sejuk setiap kali dia pulang.
“Boleh sisakan lima juta mas, siapa tahu
ada hal tak terduga,” aku membujuk dengan kalimat yang hari-hati sekali.
Akhirnya si putih yang bukan mobil baru
mejeng di halaman rumah kami. Rumah kontrakan yang kami tempati jadi penuh
dengan hadirnya si putih.
“Mulai sekarang setoran aku naikkan ,Mah
jadi dua ratus ribu rupiah,” kata mas Edi dengan mantap.
Semenjak itu mulailah aktivitas mas Edi
dengan mobil barunya untuk mencari penumpang. Sayangnya dia selalu berangkat
siang pukul sembilan. Aku juga berangkat
pukul sembilan harusnya dia bisa mengantarkan aku ke tempat kerja. Sayangnya
seperti biasa banyak alasannya.
“Mas, kalau berangkat siang bisa dong
antar aku dulu,” aku memintanya pagi itu setelah bekal makanan sudah aku
siapkan untuk dia bawa. Aku biasakan supaya mas Edi bisa menghemat. Walau
kadang pulang masih utuh tak dimakannya. Mungkin bosan dengan masakanku.
“Kalau aku antar Kau ke tempat kerja,
terus ada order masuk, mau aku turunkan di jalan?” kata mas Edi, dengan
tersenyum pahit aku gelengkan kepala. Harusnya dia bisa nyalakan aplikasi
setelah aku diturunkan di tempat kerja. Tetapi sudahlah tidak ada niat di
hatinya mengantarkan istrinya.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan setorang
masih lancar saja. Aku bersyukur mas Edi menepati janjinya, hingga pada suatu
malam ia pulang dengan wajah yang lesu.
“Mulai besok daerah kita dibatasi mobil
plat ganjil dan genap. Mobil kita genap, jadi besok aku off ga narik,” katanya
sambil melemparkan rantang yang terdengar bunyi nyaring pastinya sudah kosong.
“Bagimana kalau Mas nariknya setelah
pembatasan ganjil genap mulai pukul sepuluh sampai pukul tiga. Nah Mas pulang
istirahat sampai jam Sembilan malam narik lagi sampai pukul dua belas, saranku
sambil memijat pundaknya.
“Oh, Kau ga mau rugi mau bikin suamimu
sakit terus cepat mati narik sampai malam gitu,” tangannya mengibaskan tanganku
yang sedang memijat pundaknya. Aku tahu pasti jawaban itu lagi yang
dilontarkan. Selalu kata-kata yang tidak enak di telinga.
“Ya, sudah kalau tidak mau narik tanggal
ganjil, tapi Mas harus pikirkan setoran mobil kita itu dua juta tujuh ratus,
kalau hanya 15 hari narik berarti hanya tiga juta rupiah, bagaimana bayar
kontrakan dan kasih jajan anak, belum lagi dua bulan sekali harus ganti oli dan
service mobil,” Kata-kata itu keluar begitu saja, tujuanku hanya ingin suamiku
tahu beban yang harus dia tanggung dengan ketidakmauannya narik di tanggal
ganjil.
Mas Edi menggaruk-garukkan kepalanya dan
menatapku dengan tajam. Matanya yang merah menandakan situasi tak akan baik
untuk berdiskusi. Beban kami yang mulanya enteng, dengan keinginan dia
mengambil mobil menjadi berat. Kontrakan harus dibayar setiap bulan satu juta.
Aku saja sudah jarang menabung karena harus memikirkan kebutuhan hidup kami.
“Ya, sudah setoran di tanggal ganjil
seratus ribu, kurang bisa yang penting ada setoran,” kata-katanya memang tak
enak, tetapi sudahlah yang penting dia tahu bagaimana kesulitan yang dia buat.
Kalau tadi narik ojek motor tak ada yang harus dibayarkan. Motor sudah
lunas tinggal pakai. Adikku saja melihat
keuanganku meminjamkan motornya untuk aku bawa bekerja. Kalau harus naik angkot ongkos yang aku tanggung lebih
mahal.
Belum dua bulan aku bisa bernapas lega.
Datanglah musibah badai corona dalam kehidupan kami. Yah, Mas Edi sudah
mengeluh tak ada penumpang. Setiap hari sudah dilakoni berkeliling dan hanya
satu penumpang itupun tak bisa membelikan bensin yang dipakainya untuk
berkeliling.
Dua anakku sudah tidak bersekolah
dirumahkan. Setiap hari mereka berkutat dengan tugas sekolah yang membuat
mereka harus terkoneksi dengan internet.
“Mah, belikan kuota sudah habis nanti
ada pembelajaran di internet,” anakku yang sulung sudah kelas sepuluh, lima
hari yang lalu sudah aku belikan kuotanya sekarang minta lagi.
“Kemarin sudah habis, Kak?” tanyaku
hati-hati.
“Sudah habis Mah, lihat tinggal 100 mb,
tugas bu guru banyak yang nonton video disuruh mengikuti gerakan dan membuat
video terus mengirimkan,” keluhnya dengan wajah yang cemberut. Aku tak pernah
memantau pekerjannya. Aku hanya tahu dari grup kalau ada tugas yang harus
diselesaikan anak setiap hari.
“Iya nanti mamah belikan, yang 2 giga
cukup ya Kak, paling besok atau lusa sudah sekolah,” optimisku melambung
melihat kalau terus seperti ini aku pun akan dirumahkan.
“Aku juga, Mah belikan ,” si adik yang
mendengar dari kamar mandi ikut bicara.
“Lah, adik juga sudah habis,” kataku
anakku ini jarang meminta aku juga tak tahu dimana dia mengisi tugas
sekolahnya. Usianya baru 13 tahun tetapi sudah di kels 8 atau kelas 2 SMP.
Anakku ini cerdas beberapa kali menjuarai lomba menulis dan piala di rumah kami
dia yang menyumbangkan. Beberapa kali lomba yang dia ikuti berhadiah uang.
Semua uang itu ia berikan padaku dan selalu bilang bapaknya hanya dapat piala
tak ada uangnya.
“Sttt Mah, ada hadiah uang dari lomba
kemarin, ini Mah 1 juta, ga usah bilang bapak buat mamah aja,” aku terharu dan
memeluknya. Apa dia tahu kesulitan hidup ibunya.
“Hehehehehehe aku mau ulangan, Mah
biasanya ke rumah Dian yang di ujung gang, dia kan punya wifi jadi gratisan
deh.” Oh pantas saja dia tak pernah minta kuota. Taktiknya boleh juga. Dian
anak tetanggku itu satu sekolah dengan anakku, beberapa kali ibunya minta
anakku untuk mengajari anaknya yang susah sekali belajar.
“Tuh, anak orang kaya tapi bodoh banget
ya, Dek,” Kakaknya Lora menimpali.
“Hus, ga boleh gitu kalau kita bisa
bantu mengajarkan malah beruntung,” aku menempelkan jari di bibirku. Lora memang seperti bapaknya apa yang ingin
dikatakan terus terang dia katakana.
“Ya, Mamah kalau ga bego ngapain tinggal
kelas, di SD tinggal kelas, di SMP tinggal kelas, harusnya dia tuh sekolahnya
bareng aku, Mah,” anakku Lora memang tidak salah.
“Ya, sudah nanti mamah belikan semua
paket kuota internet,” aku menyudahi perdebatan.
Hari itu di tempatku bekerja tak banyak
yang datang, beberapa karyawan memang sudah dirumahkan. Tinggal aku dan
beberapa karyawan yang masih ada.
“ Nur, mulai besok You kerja di rumah
sampai ada pemberitahuan,” akhirnya kalimat itu keluar juga dari mulut pemilik
pusat kebugaran tempatku bekerja.
“Bagaimana dengan gaji saya Ci?” aku
beranikan bertanya karena memang itu yang harus pasti.
“Bulan ini You masih dapat penuh, tapi
bulan depan Cici potong 50%, kan You ga kerja, ga ada pelanggan kita, salon
pasti ga ada yang mau datang, ga ada yang mau ngejim dulu,bagaimana?” aku hanya
tertunduk dan menganggukkan kepala. Terbayang bagaimana membayar kontrakan dan
makan kami nantinya. Memikirkan itu saja kepalaku sudah mulai pening.
“Baik, Ci jaga kesehatan ya Ci semoga
badai ini berlalu dan kita bertemu sehat-sehat saja,” aku mengucapkan salam
perpisahan pada Cici pemilik pusat kebugaran. Selama ini dia selalu mendukungku
dan sering menguatkan kalau aku ada masalah. Cici sendiri sudah tak bersuami
ceritanya padaku, suaminya berselingkuh dengan sahabatnya dan melarikan semua
uang dan perhiasan Cici. Untungnya keluarga Cici membantu dan memberikan modal
untuk membangun bisnis pusat kebugaran, juga salon yang emmang sudah lebih
dahulu ada. Nasihat Cici padaku kalau suami kasar selama dia tidak main
perempuan yah dinikmati saja.
“Sudah, tak usah sedih-sedih, Cici jadi
mau peluk kamu nanti, kita harus jaga jarak, You jaga kesehatan banyak minum
vitamin,” kulihat butiran bening di mata Cici. Aku pamit membereskan
barang-barangku. Kakiku meninggalkan pelataran kantor dengan mata berkaca.
Kapan badai berlalu dan aku bisa bekerja lagi. Bekerja membuatku lupa akan
masalah di rumah dan kekasaran suamiku.
“Bikinkan minum yang pakai es, kalau ada
sirup,” suara Mas Edi membelah malam. Sudah satu minggu dia tak narik dan aku
sudah tak tahu lagi bagaimana hidup kami nanti.
“Ini Mas sirupnya, udara memang panas
hujan sudah mulai jarang,” aku membuka percakapan dan duduk di sebelahnya. “Aku
sudah dirumahkan Mas, bulan depan gajiku tinggal separuh saja,” kataku pelan.
Kulihat Mas Edi menyerumput sirup dan
memandang keluar pada debu jalan yang siap menghantam rumah kami. Mobil putihnya
saja tak pernah dia bersihkan. Debu sudah menempel, biasanya tanpa cakap aku
membersihkan mobil dan menyalakan supaya tidak rusak. Hanya itu harta kami yang
nantinya kalau dijual dapat peroleh uang untuk hidup.
“Sekarang sudah susah, pemerintah ga
tahu apa kebijakannya bikin kita susah,” keluarlah kata-kata yang isinya selalu
ketidakpuasan.
“Maksudku, cicilan mobil bulan depan
bagaimana Mas,” hati-hati aku bicara.
“Masa, kamu ga punya tabungan, yang
waktu itu lima juta aku tinggalkan ditabunganmu masih adakan?” ternyata Mas Edi
masih ingat uang itu. Padahal uang itu sudah dipakai untuk berobat ibunya
bahkan terpakai juga uang tabunganku yang sedikit.
“Mas, lupa uang itu sudah kita berikan
pada ibu bahkan dengan uang tabunganku jadi enam juta kita berikan pada ibu,”
aku benar-benar tak habis pikir dikiranya dengan uang yang dia berikan aku
selalu bisa menabung? Setiap bulan ibunya selalu menagih jatah bulanan dan aku
harus mengirimnya. Belum lagi pertengahan bulan adiknya yang kuliah minta
belikan buku atau lain-lainnya. Ibuku sendiri semenjak aku membeli mobil tak
pernah aku kirimkan uang. Rasanya ingin menjerit dan menangis.
“ Ala, kamu baru ngasih ibuku segitu
saja sudah dihitung,” mau aku lawan percuma saja energi positifku pasti akan
habis mengahadapi manusia bebal sepeti ini.
“Apa tidak lebih baik mobil kita jual,
Mas, mobil juga tidak terpakai dan Mas bisa narik motor saja masih bisa kan?”
semoga ideku bisa menjadi jalan keluar kami.
Mas Edi meninggalkan aku dan keluar
melihat mobil kemudian pergi keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Hingga malam
Mas Edi belum kembali. Aku telepon tidak aktif. Anakku juga mencoba telepon
tidak aktif. Malam semakin larut aku tertidur karena kelelahan.
Pagi itu kudapati Mas Edi di teras
tertidur dan pintu rumah terbuka. Anak-anakku belum bangun pastinya bukan dia
yang membuka pintu. Aku bangunkan Mas Edi, pelan-pelan takut ia terkejut dan
marah. Mas Edi mengeliat dan menatapku sambil tersenyum. Senyum yang harusnya
melegakanku, ketika tercium aroma alkohol dari mulutnya.
“Masyaallah, Mas kenapa minum-minuman
lagi sih, kamu bukan meringankan bebanku malah membuatku bertambah susah,” aku
tingalkan dia dan masuk ke dalam. Benar-benar sudah hilang akalnya bisa-bisanya
Mas Edi berkelakuan seperti waktu dia muda. Belum habis rasa penasaranku aku
menjerit.
“Mas, tega sekali kamu…” jeritanku
membangunkan anak-anakku yang berhamburan keluar kamar.
“Ada apa, Mah,” Tanya Lora dengan muka
yang masih sembab.
Aku menangis di sofa aku tahu perbuatan
Mas Edi dan mengapa tadi dia tersenyum.
“Ah, lebay mamah kalian, sudah
diringankan bebannya malah menjerit, harusnya senang,” tanpa merasa berdosa Mas
Edi berjalan ke kamar.
“Tunggu, Mas jangan lempar tanggung
jawab, biar anak-anak dengar, Kau jual kemana motorku,” aku tarik tangannya dan
minta jawaban. Pastinya sangat menyakitkan sekali, motor adikku yang dia
berikan karena kakaknya susah untuk berangkat kerja sudah tidak ada. Bukannya
menjawab, Mas Edi malah melemparkan uang kertas seratus ribu ke mukaku.
“Nih, bayar cicilan mobil dan bayar kontakan
cukup ada empat juta,harusnya cuma laku tiga juta karena aku paksa mau deh
dibeli empat juta, besok aku janji bawa
BPKB ingatkan aja, udah jangan nangis lagi,” kata-katanya justru membuat
tangisku makin menjadi. Kedua anakku menenangkanku yang sudah mulai histeris.
“Bajingan kamu Mas, tak tahu diri,
selama ini aku sabar, itu motor adikku bukan punya kamu, harusnya kamu cari
solusi bukan menambah masalah baru,” aku sudah tak tahan dengan sikapnya.
“Mamah, istiqfar mamah, kita cari jalan
keluar ya, kita tanya bapak dengan siapa dijual motor tante Ita,” adikku bukan
orang berada, tetapi dia punya dua motor, yang satu dipakai suaminya, karena
Ita sedang mengandung dia tak boleh membawa motor. Ita memberi pinjaman motor
bukan memberikan motor padaku. Rencananya hari ini aku akan memulangkan
motornya karena aku sudah tidak bekerja. Salahnya aku STNK motor ada di dompet
kunci motor.
Benar saja uang penjualan motor itu lima
juta rupiah, dan pembelinya tidak mau dikembalikan uang. Kalaupun aku mau
menarik lagi motornya aku harus membayar enam juta.
“Mas, mengapa kau membuat hidupku
seperti di dalam neraka, bagaimana harus aku katakan pada adikku,” aku tak tahu
darimana mencari uang dua juta di situasi seperti sekarang ini. Uang di
tabunganku tidak lebih dari satu juta itupun masih kurang untuk membayar
kontrakan kami yang tinggal dua minggu.
Sisa-sisa keberanian
inilah yang membawaku ke rumah adikku. Ditemani si bungsu aku menemui adikku
harapanku semoga Ita mau mengerti kesusahan kakaknya.
“Mba Nur, apa kabar?”
adikku menyambut dengan tangan terkembang.
“Maaf, Dek jangan peluk
jaga jarak kita kami dari luar mau cuci tangan dang anti baju dulu, ya,” aku
langsung masuk kamar mandi dan mandi begitu pun anakku. Kasihan Ita yang sedang
mengandung, kami tak tahu pembawa virus atau bukan. Tadi kami naik angkutan
umum, takutnya di antara penumpang ada yang membawa virus covis 19.
“Situasi bagaimana, Mba
seram yah banyak yang meninggal,” Ita membuka percakapan. Aku elus perut buncitnya
yang sudah memasuki bulan ke tujuh.
“Alhamdulilah, kami
baik, Dek kamu di rumah saja jangan keluar, ya kasihan debaynya nanti,” adikku
yang juga merantau di kota besar denganku tadinya ikut aku. Setelah menikah ia
ikut suaminya yang bekerja di daerah Bogor.
“ Iya, Mba setiap
pulang kerja Bang Edi membawakan lauk matang dan sayur mentah untuk aku masak
jadi aku ga pernah keluar rumah,” Ita adikku yang sudah semakin dewasa.
“Ih, ga jenuh tan
kegiatannya di rumah aja,” anakku Ines.
“Ga lah tante bikin masakan
dibawa om ke kantor, lumayan om jadi ga usah jajan. Adikku ini memang pintar
masak dari kami masih tinggal bersama. Ibu mengajari kami sesuai keahlian kami.
Aku yang suka sekali kerajinan tangan diarahkan ibu membuat pernak-pernik
barang. Hamper semua benda yang digunakan di rumah kami aku yang membuat. Aku
buat tempat tisu lucu dari kardus, toples cantik dari botol bekas, juga
boneka-boneka.
“Jangan kerja terlalu
letih, Dek, ingat kandunganmu,” tanganku langsung mengambil sapu dan
membereskan rumah adikku. Cucian aku masukkan mesin cuci.
“Duh, Kak Nur selalu
begini deh kalau ke sini maunya beberes terus, sudah ayo duduk ada perlu apa
nih ga mungkin kan hanya menengok aku,” akhirnya adikku tahu keperluanku.
Kuceritakan semua yang aku alami dan akhirnya aku dirumahkan dengan pemotongan
gaji. Aku terisak tak kuasa menahan kesal, kecewa, malu, dan begitu banyak
himpitan yang kurasakan.
“Kak, aku turut
prihatin, rencana kakak apa?” aku belum menjawab memikirkan apa yang harus aku
lakukan. “Lakukan yang menurut kakak menjadi mudah dan meringankan, semua kakak
yang mengalami, jangan biarkan imun kakak drop.”
Kata-kata adikku
terngiang di telinga. Aku harus mengambil sikap mengharapkan mas Edi di situasi
seperti ini bagaikan sayap patah. Aku tak mau anak-anakku juga menjadi patah
semangat. Kupandangi si putih yang masih berdiri angkuh seakan mengejek.
Sisa-sisa keberanianlah yang membawaku untuk mengemudikan si putih dan
membawanya ke dealer mobil bekas. Tanganku sudah mengenggam rupiah yang
sebagian akan aku gunakan menebus motor adikku dan kontrakan yang akan kubayar
tiga bulan ke depan. Sisanya aku pakai berdagang aku buat masker yang memang
diminati. Tak akan aku biarkan virus yang saat ini heboh dan berasal dari Wuhan, Tiongkok
yang namanya keren novel coronavirus
membuat kehidupan kami mati. Katanya virus ini merupakan
jenis coronavirus baru yang sebelumnya belum pernah ditemukan. Pengetahuan
yang sedikit tentang virus yang meluluhlantakkan kehidupan manusia di seluruh
dunia aku imbangi dengan mendengarkan televisi dan kebutuhan masyarakat adalah
ladang bisnisku.
Imbauan pemerintah yang gencar untuk tetap di rumah.
Bergugurannya paramedis dan para pasien, dan sederet persoalan mulai lockdown
sampai PSBB, apapun namanya Ramadhan kami harus bermakna dengan semua kehidupan
yang berubah mulai ibadah juga silaturahmi kami. Biarlah ditangani pemerintah,
aku cukup menangani hidup keluarga kecilku. Aku harus bangkit
musibah ini bukan aku saja yang menderita seluruh Indonesia ikut menderita.
“Nuri, setan Kau dasar istri ga tahu
diri berani ambil keputusan sendiri,” sumpah serapah terdengar petang itu di
rumah kecil kami. Aku sudah tulikan telingaku dengan sumpah serapahnya.
Beberapa barang sudah mendarat di pelipis dan tanganku. Darah merah mengotori
wajahku, aku tetap tegar harus berani melangkah. Tak kubiarkan Ramadhan
keluarga kami basah air mata.
(Suken April 2020)