Thursday, September 14, 2017

Novel Bapak



Cerita ini tetang bapak. Kenangan masakecilku tentang bapak. Sebenarnya ingin dibukukan dan diedarkan agar semua membaca, tapi urung karena masalah biaya. Hemmm untuk pengamanan aku taru disini yah. 



Rumah Masa Kecil

BAB I

***Rumah Mambo***

Rumah masa kecil memang menorehkan kesan yang dalam. Aku dan keluargaku pindah ke rumah ini tahun 1976. Sebenarnya rumah ini bukan rumah masa kecil, karena aku dilahirkan di Cipanas Jawa Barat. Kemudian bapak pindah tugas ke Jakarta dan tinggal di kompleks. Rumah ini kami sekeluarga menyebutnya Rumah Mambo karena terletak di daerah Mambo. Rumah inilah pertama kalinya keluarga kami tinggal ketika menginjakkan kaki di ibukota Jakarta. Padahal aku lebih senang tinggal di kota kelahiranku yang sejuk dan hijau di daerah Cipanas, Cianjur Jawa Barat.

Rumah Mambo tempatnya persis dekat dengan pelabuhan Tanjung Priuk. Hanya karena tidak banyak yang aku ingat di Rumah Cipanaslah, sehingga Rumah Mambo menjadi rumah masa kecil dari ingatanku tentang sebuah rumah. Aku dan ketiga saudaraku dilahirkan di Cipanas, tapi tumbuh dan menghabiskan masa kecil di Rumah Mambo. Sebenarnya ini kompleks perumahan untuk para pengawal keamanan masyarakat. Sebuah rumah kompleks “anak kolong”, itu julukan untuk kami anak kompleks.

Jakarta waktu itu masih sepi belum ada kemacetan yang kerap terjadi. Kami masih bebas menggunakan jalan, aku dan teman-teman sering menggowes sepeda melintasi jalan raya tanpa takut kendaraan yang melintas atau jalan raya yang lebar itu kami pergunakan untuk bermain “gobak sodor”. Suara yang acap kami dengar dari Rumah Mambo adalah klakson mobil besar pengangkut barang atau kontener. Kalau pergantian tahun suara terompet kapal dari pelabuhan menjadi tradisi yang sayang untuk dilewatkan. Seingatku bapak tak membolehkan kami menunggu malam pergantian tahun. Pukul 21.00 setelah menonton acara di televisi, bapak menyuruh kami tidur. Biasanya mama yang menyuruh katanya disuruh bapak kalau ini pasti sudah kompak untuk menyuruh anaknya tidak tidur malam. Bapak sendiri setiap pergantian tahun tak pernah pulang. Jawaban yang aku dengar dari mama kalau aku tanya mengapa bapak tidak pulang setiap malam pergantian tahun katanya bapak harus menjaga keamanan Jakarta. Aku dan adikku sering terbangun bahkan menunggu bunyi terompet kapal dengan sembunyi-sembunyi. Terompet itu bersahut-sahutan dan berirama yang mampu membuat kami bersorak tanpa sadar karena ingat besok sudah berganti tahun (padahal tak ada bedanya ganti tahun atau tidak hahahaha).

“Mah, kenapa bapak selalu tidak pulang kalau tahun baru?” tanyaku pada mamah.

“Bapak sibuk menjaga keamanan Jakarta.” Jawab mamah sambil menggendong adikku yang bungsu. Adik bungsuku ini satu-satunya keluarga kami yang lahir di Rumah Mambo dan menjadi satu-satunya anak laki-laki di dalam keluarga kami setelah kepergian kakakku. 

“Kenapa bapak terus, kan banyak anggota keamanan yang lain?” tanya kakak sulungku.

“Semua punya tugas masing-masing, dan bapak bertugas setiap pergantian tahun.” Kata mama menjelaskan. Kakak-kakakku hanya mengangguk entah setuju entah tak peduli dengan penjelasan mama.

“Tapi kenapa bapak selalu bertugas di malam pergantian tahun, jadi kami tak pernah dengan bapak. Aku mau lihat bunyi kapal dari dekat Mah.” Kataku dengan nada protes.

Kali ini mama hanya diam saja. Mama mungkin tak mau ribut apalagi adikku yang bungsu rewel. Pertanyaan yang tak bisa dijawab itulah yang membuat esok harinya tepat tanggal 1 setiap awal tahun, bapak mengajak kami berwisata ke Ancol atau Taman Mini. Bapak menebus apa yang tidak bisa diberikan di malam pergantian tahun dengan kami, anak-anaknya. Setelah aku dewasa aku mengerti lelahnya bapak setelah semalaman menjaga keamanan Jakarta kemudian pagi harinya harus mengajak anak-anaknya berwisata. 

Kompleks kami disebut daerah Pos 9. Dekat sekali dengan terminal Tanjung Priuk dan pelabuhan Tanjung Priuk. Daerah kami sangat ramai dan menjadi sentral perindustrian yang sibuk dengan lalu lalang angkutan barang impor dan ekspor ke berbagai negara. Angkutan umum yang melintas masih bisa dihitung. Aku ingat pada tahun itu, ada transportasi yang sering kami gunakan bila bepergian yaitu oplet. Kalau ingat atau pernah menonton sinetron di salah satu televisi swasta tentu tahu jenis angkutan ini. Yah, angkutan ini adalah transportasi andalan dalam sinetron “Si Doel Anak Sekolahan”. 

Rumah Mambo tak banyak yang bisa aku ceritakan karena kami tak lama tinggal di Rumah Mambo. Rumah Mambo mengisyaratkan kami bahwa kami sudah tidak di daerah yang berhawa sejuk lagi. Kami sudah di kota Jakarta dengan ragam masyarakat dan lingkungan yang mungkin tak ramah. Polusi dan panasnya udara laut membuat kulit kami menjadi sedikit demi sedikit menjadi coklat. Aku yang belum terbiasa tinggal di daerah berhawa panas jatuh sakit selama sebulan. Kata dokter yang merawat, seiring waktu aku akan beradaptasi dengan lingkungan. Tak lama Rumah Mambo harus kami tinggalkan karena akan dipakai untuk perluasan gudang pelabuhan.

***Rumah Cilincing***

Rumah ketiga keluargaku ini sama dengan Rumah Mambo, kompleks khusus untuk pasukan keamanan. Para masyarakat menyebut anak-anak penghuni kompleks sebagai “anak kolong,” entahlah mengapa kami disebut “anak kolong”. Kata masyarakat karena orangtua kami adalah pasukan keamanan yang biasa menjaga hingga kolong-kolong daerah, ah aku tak paham maksudnya. Rumah kami ada di barak sebelah selatan menghadap ke utara. Setiap barak ada 7 rumah dan setiap barak saling berhadap-hadapan. Rumah kami paling ujung atau biasa disebut rumah huk. Kata orang kompleks, keluarga yang menempati rumah huk adalah para anggota pasukan yang sudah berpangkat lebih tinggi daripada penghuni rumah lainnya. Pangkat bapak saja aku tidak tahu.

Layaknya rumah-rumah di kompleks ada tiga kamar di rumah kami. Bapak dan mama menempati kamar di depan dekat dengan ruang tamu. Aku bertiga dengan kakak dan adikku yang perempuan di kamar kedua. Ada satu kamar mandi yang selalu berebut kami gunakan di pagi dan sore hari apalagi kalau berangkat sekolah. Tempat tidur tingkat kami gunakan, kata mama agar kami anak perempuan satu kamar karena satu kamar buat kakakku yang laki-laki. Aku dan adikku mendapat bagian tempat tidur di atas. Bagian bawah ditempati kakakku. 

Orangtuaku memiliki lima orang anak. Aku anak ketiga berarti ada dua kakakku dan dua adikku. Kakak pertamaku perempuan bernama Susi. Kakak keduaku laki-laki, walaupun laki-laki ia memiliki hobi sama denganku “menari” namanya Iwan. Kami sering tampil dalam acara-acara tujuh belasan atau undangan dari organisasi remaja. Adikku nomor empat perempuan menurut guru-guru di sekolah, adikku ini sangat pandai matematika. Setiap tahun menjuarai lomba cerdas cermat antar-SD namanya Tita. Adikku ini selalu dipuji oleh guru kebetulan aku satu sekolah dengan Tita. Bapak sengaja menyamakan tempat sekolahku dengan Tita selain beda umur kami hanya satu tahun, bapak juga tidak perlu repot pindah sekolah kalau waktu pembagian raport. Adik paling bungsu laki-laki namanya Awan. Perbedaan usia kami dengan Awan cukup jauh sehingga kami sering bergantian menjaga Awan ketika mama sibuk atau pergi ke pengajian.

Rumah kami paling pojok atau huk agak di belakang kompleks dari barak yang dinamai blok W. Barak di kompeks berjajar berdasarkan abjad mulai dari gerbang kompleks barak blok A dan di akhiri dengan kompleks di barak paling belakang blok Z. Di depan rumah kami ada lapangan badminton yang selalu ramai setiap malam oleh para pemain lokal alias bapak-bapak para keamanan negara yang berolahraga selepas berdinas. Bapak adalah orang yang memunculkan ide pembangunan lapangan badminton walaupun hanya diberi adukan semen saja, diratakan dan jadilah lapangan yang cukup nyaman. Di dekat lapangan badminton ada sebuah bangunan berbentuk persegi panjang. Bangunan ini berupa tembok tinggi dua meter. Ukuran bangunan ini kira-kira 6 x 4 M2 dan terbagi dua. Bangunan ini merupakan salah satu kebanggaan kompleks kami. 

Orang-orang kompleks menyebutnya “bor panas”. Ada air hangat mengalir di tengah –tengah bangunan dan ditampung dalam sebuah bak besar. Banyak warga kompleks yang memanfaatkan air hangat untuk mandi dan mencuci pakaian, maklum air bersih tidak tersedia di rumah. Daerah kompleks rumah kami ada di daerah pantai sehingga air tanah pun susah kalaupun ada, sumur warga airnya keruh dan berwarna coklat tidak jernih untuk menjernihkan para warga kompleks membuatnya dengan bantuan pasir, batu bata, dan sapu ijuk. Biasanya kalau sudah ramai perebutan kamar mandi, aku selalu lari ke bor panas.

Keberadaan “bor panas” menjadi salah satu kenikmatan tersendiri selain jernih, air yang keluar juga hangat makanya disebut “bor panas”. Sampai keluarga kami keluar dari kompleks itu atau tidak tinggal di kompleks lagi, aku tidak tahu mengapa ada air hangat di wilayah kami. Padahal wilayah kami ada di teluk Jakarta atau dekat dengan pantai jauh dari gunung berapi atau hal yang berbau kehangatan air dari sumber alam. Bapak pernah bercerita bahwa air tersebut adalah hasil pemanasan dari dasar laut. Loh kok bisa? Ah bapak ada-ada saja.

Rumah masa kecil adalah sebuah potret panjang bagaimana aku dan saudara-saudaraku menghabiskan cerita masa kecil kami. Di kompleks inilah bapak mengajarkan aku dan keempat saudaraku untuk mandiri, percaya diri, dan selalu menjaga diri. Setiap hari bapak selalu mewajibkan kami anak-anaknya melaporkan apa saja kegiatan yang kami lakukan. Cara ini membuat kami anak-anak bapak jadi percaya diri bila berbicara di depan orang. 

“Sekarang Nuri!” kata bapak malam itu. Bapak baru pulang dari dinasnya. Seperti biasanya bapak selalu meminta kami anak-anaknya melaporkan semua kegiatan yang kami lakukan satu hari itu. Bapak akan duduk di kursi sambil melepaskan semua atribut pakaian dinasnya mulai dari ikat pinggang dengan ujung berwarna emas berlogo kesatuan tempat bapak bekerja. Pangkat-pangkat yang ada di bahu dan kantung baju bapak. Bukan hanya itu dengan gayanya bapak mengeluarkan pistol berukuran sedang yang tentu saja berat yang dikeluarkan dari sarungnya. Bapak akan mengusap pistol itu dengan lap hingga mengilap sebelum meletakkannya. Aku dan saudaraku tak ada yang berani menyentuhnya karena kami mengerti bahayanya kalau ikut memegang. Rasanya seram membayangkan pistol itu ada di tangan bapak. Hingga bapak pensiun dari pekerjaannya aku belum pernah memegang pistol bapak.

“Nuri dulu Pak?” tanyaku pelan nyaris tak terdengar. Aku takut dengan pistol yang bapak letakkan di meja kecil sebelah bapak. Padahal aku yakin tak mungkin pistol itu melukaiku. Sikapku itu malah membuat bapak jengkel. Bapak paling tidak suka bila sudah diperintah dan jelas kalimat perintahnya masih bertanya. Aduh, pasti aku kena marah bapak lagi nih. Benar saja belum sempat aku bicara lagi bapak sudah berbicara dengan kerasnya.

“Iya kamu? Tidak dengar tadi siapa yang bapak suruh laporan dulu?” kata-kata bapak membuatku tanpa sadar menggulung-gulung ujung kaosku. 

Adikku Tita bersembunyi di belakang tubuhku. Situasi seperti itu sebenarnya biasa, setiap malam rutinitas demikian akan kami lakukan selama masih ada bapak. Kadang aku dan adikku Tita suka berdoa semoga bapak lupa. Rasanya tak mungkin lupa karena bapak adalah orang dengan daya ingat luar biasa. Belakangan baru aku sadari didikan bapak ini membuat aku dan saudaraku lebih percaya diri dibandingkan teman-teman lain.

“Hari ini Nuri ikut kegiatan senam pak untuk lomba senam kesegaran jasmani.” Kataku akhirnya lega bisa menyampaikan kegiatanku hari ini. Aku sempat melirik Tita yang seperti biasa sudah siap dengan catatannya. Tita tidak sepertiku yang langsung melaporkan tanpa menyiapkan catatan. Tita adikku ini sungguh tertib administrasi. Laporan Tita biasanya runtun dan jelas. Hari ini Tita melaporkan PR matematika yang berhasil diselesaikannya dengan sempurna. Aku yakin Tita akan mendapat nilai sempurna untuk matematika. 

Kakakku Susi dan Iwan mendapat giliran selanjutnya. Susi selalu melaporkan tidak sampai tuntas. Laporan Susi hanya mengatakan kalau hari ini Susi membantu mama menjaga Awan. Aduh itu bukan laporan memang kewajiban apalagi Susi anak pertama. Yang aku senang mendengar laporan Iwan. Kakakku ini pasti akan banyak yang diceritakan. Aku belajar banyak dari kakakku Iwan dalam hal bercerita.

“Mulai besok di kompleks kita ada latihan karate.” Kata bapak setelah semua anak-anak bapak menyampaikan laporannya.

“Siapa yang melatih, Pak? Kata mama yang sedang menemani Awan belajar mewarnai.

“Pak Dibyo, Ma. Tadi bapak bertemu Pak Dibyo di kantor, katanya dia kasihan lihat anak-anak tidak memanfaatkan lapangan kita. “ kata bapak.

Di kompleks kami ada lapangan bola yang berada di tengah-tengah kompleks. Lapangan bola ini sering juga dimanfaatkan oleh warga untuk berkumpul selain untuk berlatih bola. Kalau malam hari lapangan bola hanya digunakan untuk berkumpul atau anak-anak berlari-larian saja tidak ada aktivitas yang ada manfaatnya. Bapak sudah mendaftarkan aku dan kedua saudara perempuanku dan tentu saja kakakku Awan untuk belajar beladiri karate. Rrencananya mulai diadakan setiap malam Selasa dan malam Sabtu. Sebenarnya aku tidak suka karate, aku senang menari bukan ilmu beladiri. 

“Perempuan itu harus punya kepandaian ilmu beladiri biar bisa menjaga dirinya dari gangguan manapun dan dari siapapun.” Kata bapak pada aku dan kedua saudariku Susi dan Tita.

“Tapi Pak, Nuri mau kursus tari saja.” Kataku sambil menunduk. Aku dan saudara-saudaraku tak pernah memandang wajah bapak kalau menolak. Bapak tidak suka penolakan tanpa argumentasi yang jelas. Kali ini aku belum menemukan jawaban yang pas untuk menolak karena itu aku tak berani menentang bapak.

“Aku mau les matematika saja Pak, gak mau ikut karate. “ kata Tita sambil memainkan ujung gaunnya. Suara Tita tercekat, antara takut dan malu.

Aku menunggu apa yang akan dikatakan Susi untuk menolak perintah bapak. Hampir lima menit suasana pada saat itu sunyi sampai bapak berdiri dari tempat duduknya dan menunjukkan koran pagi itu yang baru dibacanya. Bapak tak banyak bicara hanya menyuruh aku membaca dengan suara keras.

“Seorang pelajar SMP ditemukan tewas di tepi kali dengan luka lebam diduga dianiaya.” Aku serahkan koran pada bapak dan aku mengerti mengapa bapak meminta kami semua anak perempuannya untuk belajar beladiri. Bapak menatap semua anak perempuannya dan matanya berhenti pada kakakku Susi yang hanya sibuk melihat ke televisi, ada acara kesukaan Susi pada jam itu.

“Bapak tahu kalian keberatan, tapi di kompleks ini ada yang mau melatih karate dan semua latihan yang kalian lakukan dibiayai oleh pemerintah yang menaungi kompleks ini, jadi sayangkan kalau kalian tidak ikut.” Bapak menjelaskan mengapa bapak ingin semua anaknya belajar karate. 

“iya Pak.” Serempak aku dan dua saudaraku menjawab.

“Sudah dengar tadi yang dibaca Nuri?” kata bapak lagi. Aku dan Tita mengangguk dan tahu ke arah mana pembicaraan bapak. 

Usiaku dan Tita hanya terpaut satu tahun. Sewaktu bapak meminta kami berlatih karate usiaku baru 10 tahun berarti Tita 9 tahun. Waktu itu Jakarta sudah semakin rawan tindak kejahatan. Sedangkan kakakku Susi sudah kelas 2 SMP. Aku yakin apa yang diminta bapak karena bentuk sayang bapak pada kami anak-anaknya. Aku hanya berdoa semoga bapak nanti mengijinkan aku ikut kursus tari. Selama ini aku menari dengan diam-diam. Biasanya kakakku Iwan yang mengajak ikut latihan tari. 

Setelah malam itu aku dan Tita berlatih karate seminggu dua kali. Kakakku Susi tidak berminat untuk ikut berlatih dengan alasan sering sakit perut. Bapak tidak memaksa Susi ikut. Bapak memang tidak pernah memaksakan kehendak pada Susi. Tapi tidak demikian halnya dengan aku dan Tita. Bapak cenderung memaksa.

“Kalian harus tahu kenapa bapak dan mama gak pernah memaksa Susi untuk mengikuti kemauan kami.” Mama bercerita padaku sore itu ketika aku mengadu pada mama mengapa bapak tidak pernah menyuruh Susi mengikuti keinginan Bapak.

“Susi dari kecil sering sakit-sakitan, bapak dan mama sangat khawatir.” Kata mama lagi. “Apalagi kalian tahu watak kakak kalian itu.” 

Aku tahu ke arah mana mama akan bercerita. Susi kakakku ini memang sering sakit-sakitan. Selain itu Susi cenderung perasa. Kakakku ini mudah menangis. Aku dan saudaraku memang berbeda watak, tapi kami dididik untuk saling menjaga dan menyanyangi.

*******

Kabar duka menimpa keluarga kami. Waktu itu aku sudah kelas 1 SMP dan aku satu sekolah dengan kakakku Iwan. Seorang polisi menyampaikan berita duka pagi itu ketika aku selesai mandi dan mama baru saja pulang dari pasar. Aku bersekolah siang hari sementara Susi dan Tita serta kakakku Iwan bersekolah pagi hari. Polisi memberi kabar kalau kakakku Iwan mengalami kecelakaan motor. Kakakku harus meregang nyawa karena motor yang dikendarainya bertabrakan dengan sebuah mobil. Iwan kecelakaan akibat benturan yang keras antara motor kakakku dan mobil yang belakangan diketahui dikemudikan oleh seorang polisi. Kakakku meninggal di tempat kejadian. Sedangkan teman yang diboncenginya masih sempat dilarikan di rumah sakit namun beberapa saat kemudian meninggal dunia juga.

Berita duka itu membuat shok mama dan sedih berkepanjangan bapakku. Mama masih belum menerima anak kesayangannya harus meninggal seperti itu. Aku ingat peristiwa itu karena aku ada di rumah. Pagi itu ketika aku sedang mengerjakan PR, Iwan yang sudah berangkat sekolah pulang lagi ke rumah. Pagi itu hari Senin, siswa sekolah akan melaksanakan upacara bendera. Iwan pulang ke rumah bukan karena perlengkapan sekolahnya belum lengkap. Aku mengenal kakakku yang selalu rapi dan siap bila pergi sekolah.

“Ri, Mama mana? Tanya Iwan yang pagi itu kembali ke rumah. Tadi Iwan berangkat sekolah, mama di kamar mandi sehingga ia tidak pamit langsung pada mama hanya berteriak dari luar pintu kamar mandi kalau ia mau berangkat sekolah. Kali ini pulang ke rumah mama sudah pergi ke pasar. Hal itu aku katakan pada Iwan.

“Ri, topi sekolahmu mana?” tanya Iwan padaku lagi.

“Ada memang kenapa?” mataku tidak lepas dari soal yang aku kerjakan.

“Pinjam. Ini teman kakak gak punya topi.” Di belakang Iwan sudah berdiri Johan sahabat karib kakakku. Wajahnya meringis takut aku tidak pinjami topi.

“Cepat ambil ntar keburu upacara, tambah dihukum deh.” Kata Iwan lagi. Kakakku ini sangat disiplin untuk urusan sekolah. Aku berikan topi sekolahku pada Johan. Kedua sahabat itu melesat dengan motor yang dikemudikan oleh kakakku Iwan. Masih sempat aku lihat motor yang membawa mereka. Sebuah vespa tua yang aku yakin dipinjam Iwan pada temannya di sekolah. Bapak tak pernah membolehkan anak-anaknya mengendarai motor karena menurut bapak belum cukup usia. Kalau bapak tahu Iwan pulang mengendarai motor, nanti malam pulang bapak dinas pasti banyak petuah bapak untuk kami. Pada akhirnya bapak tak sempat memberikan petuahnya pada kakakku, karena Iwan tak bisa mendengar petuah bapak lagi.

Tangis mama pecah setelah berita duka yang disampaikan polisi membangunkan seisi kompleks. Berita kematian kakakku yang tragis dimuat di harian ibukota yang isinya memang berita mengenaskan. Berhari-hari mama dilanda kesedihan yang mendalam. Adik bungsuku jadi ikut tak terurus. Tinggallah kami kakak-kakaknya yang mengasuh. Mama mengurung diri di kamar tak mau makan sampai harus dipaksa. Keadaan itu membuat sedih semua anak mama. 

Bapakku adalah orang yang demokratis. Kejadian yang membuat anaknya meninggal dunia pun masih diperhitungkan dengan penuh demokratis. Sementara mama menuntut si penabrak di hukum seberat-beratnya. Bapak malah mencabut semua tuntutan. Bapak sadar nyawa yang pergi tak mungkin diminta lagi pada Tuhan. Bapak mengikhlaskan kepergian kakakku bukan karena polisi penabrak adalah rekan sesama polisi. Mama tak menyadari jiwa besar bapak dengan mengikhlaskan kepergian anak kesayangannya yang diharapkan dapat mengantikan dirinya kelak, merupakan keputusan yang sungguh berat untuk bapak. 

Keputusan ini memang membuat mama marah. Bahkan berhari-hari mama tak berbicara dengan bapak. Bapak memikirkan keluarga polisi itu. Polisi yang menabrak kakakku memiliki anak yang jumlahnya sama dengan keluarga kami. Kata bapak akan banyak manusia yang kehilangan kalau tuntutan itu tetap dilanjutkan. Akan ada enam orang yang kehilangan dan pasti dampak berikutnya banyak. Mereka akan kelaparan karena tulang punggung keluarganya masuk bui. Bapakku memang hebat, tak kubayangkan jika ini terjadi padaku. 

Awalnya mama tidak terima tetapi akhirnya mama juga mengikhlaskan. Mama menyadari apalagi semenjak mama terpuruk dalam kesedihan anak-anaknya tak terurus. Anak-anak mama terutama Awan adikku yang masih butuh kehadiran mama selama mama berduka diurus oleh kakak-kakaknya saja. Sesekali bapak mengurus Awan yang juga rewel mungkin tahu kalau ibunya berduka.

Kesedihan akibat kehilangan membuat orangtuaku mengajak kami anak-anaknya meninggalkan kehidupan kompleks yang ramai. Kami pindah ke daerah dimana listrik dan air belum terjamah tetapi masih dalam lingkup daerah yang sama, kelurahan yang sama, kecamatan yang sama di Jakarta. 



***Rumah Dongkelan***

Rumah ini adalah obat untuk mama melupakan kesedihannya. Rumah yang mengantarkan cinta buat hatiku. Rumah yang meluluhlantakkan hatiku juga.



Tak Cukup Hanya Rumah

BAB II



*** Rumah Dongkelan

Rumah ini adalah rumah keluargaku yang penuh perjuangan. Bukan karena rumah yang lain tidak ada perjuangan. Rumah ini semua cerita terbangun dengan penuh warna. Tahun 1980 daerah pinggiran di Jakarta masih belum terjamah listrik. Sebenarnya rumah perjuangan ini tidak jauh dari kompleks yang kami tinggali masih dalam satu kecamatan bahkan satu kelurahan. Hanya saja daerah ini terletak agak jauh dari jalan raya dan memang masih sepi. Tahun 1980 daerah rumah ini masih banyak sawah, jalan belum beraspal, listrik belum masuk, dan air bersih belum tersedia. Akses jalan menuju ke rumah perjuangan masih sulit. Jalan yag harus dilalui dari tanah yang licin bila musim hujan dan kering berdebu jika kemarau. Warga juga harus berjalan jauh untuk naik angkutan umum. Transportasi menuju jalan raya tidak ada hanya bisa berjalan kaki sejauh 2 km.

Awalnya aku dan saudaraku takut tinggal di rumah yang dibangun bapak. Biasanya kami selalu tinggal di kompleks. Rumah pertama tempat aku dilahirkan di daerah sejuk dan dingin Cipanas, Jawa Barat sebuah kompleks istana Presiden Cipanas. Bapak bertugas di istana waktu itu. Kami biasa menyebut rumah Cipanas. Kemudian kami pindah ke Jakarta dan tinggal di rumah Mambo. Rumah Bor Panas juga rumah masa kecilku. Bapak adalah abdi negara sehingga aku dan keluarga harus mengikuti kemana bapak bertugas. Setiap rumah memiliki cerita yang berkisah berbeda. Rumah Cipanas tidak banyak yang bisa aku ceritakan. Aku masih terlalu kecil untuk mengingat rumah Cipanas. Yang aku ingat adalah delman dan pohon cemara menuju kompleks rumah Cipanas. Rumah Mambo ada sedikit cerita disitu. Kedua rumah itu adalah rumah masa kecil yang sungguh indah untuk sekadar diingat. Terutama rumah Cipanas tempat kelahiranku.

Bapak memiliki cerita sendiri dengan rumah Cipanas. Udara yang sejuk dan alam pegunungan yang asri maklum terletak di daerah puncak. Kenangan bapak banyak sekali di rumah Cipanas. Bapak memulai karier pekerjaannya di daerah ini. Sebuah kompleks untuk para pengawal yang bekerja di Istana Cipanas. Sebagian orang Indonesia tahu Istana Cipanas ini. Sewaktu aku kecil pelataran depan istana bisa kami masuki, itu pun bila keluarga istana tidak ada yang berkunjung atau tidak ada acara di istana. Bahkan kelahiranku menurut mama dibantu oleh ibu bidan istana, atau yang biasa membantu persalinan anak-anak pegawai istana.

Rumas Cipanas adalah saksi sejarah bagaimana bapak membangun karirnya. Setiap sudut kompleks istana dan perumahan menjadi sudut-sudut indah untuk dikenang bapak. Bapak selalu mengajak berlibur ke Cipanas. Tidak ada sanak saudara yang bisa kami datangi. Biasanya aku akan memesan hotel atau villa. Bapak selalu semangat bila diajak berlibur ke dearah Cipanas. Ada saja cerita bapak bila diajak berkunjung ke Cipanas.

“Ini dulu tempat bapak latihan.” Kata bapak ketika kami berlibur ke Cipanas. Bapak akan semangat bercerita pada anakku Naldi. Tak heran kalau cita-cita Naldi mengikuti jejak bapak.

**********

“Kumpul semua di ruang tamu yah.” Kata bapak selepas bapak makan malam. Waktu itu kami masih di Rumah Cilincing, seingatku tiga bulan setelah kakakku Iwan meninggalkan kami.

“Ada apa Pak?” tanya Susi yang memang sedang asyik dengan radio yang memutar sandiwara radio yang kata Susi cukup seru dan sayang ditinggalkan. Aku pernah mencuri dengar sandiwara radio itu sewaktu tidur malam. Hanya saja kalau aku dan Tita mencuri dengar, kakakku Susi akan marah dan buru-buru mematikan radio.

“Hari Minggu kita pindah rumah, kalian harus membereskan semua barang-barang kalian sendiri, sementara bapak dan mama membereskan barang-barang yang ada di rumah ini.” Bapak memberitahu dengan jelas dan tegas bahwa semua barang kepunyaan aku dan saudaraku harus dikemas sendiri. Bapak dan mama sudah menyiapkan beberapa kardus bekas yang bisa kami pakai.

“Ri, itu semua barang-barangku kamu sama Tita yang mengemas yah. Aku gak enak badan nih.” Kakakku Susi sudah memberi perintah dan jangan harap aku dan Tita menolak. Pernah aku menolak dan Susi marah sambil berteriak-teriak yang membuat malu bapak dan mama. Kejadian itu sering terjadi dan jadi senjata Susi agar kami menuruti perintahnya. Aku tentu saja malu kalau harus bertengkar dengan Susi dan mendengar teriakan Susi. Tetangga sebelah rumah orang Jawa yang tutur katanya selalu lembut. Kadang tetangga ikut menenangkan Susi untuk diam. 

Rumah ini dibangun oleh bapak dan mama dua kali lipat lebih luas daripada rumah Mambo dan rumah Cilincing. Proses pembangunan juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kata mama semua perhiasan mama habis dijual demi mewujudkan rumah impian keluarga. Aku yang pada waktu itu sudah bisa mengendarai motor, sering ditugaskan mama mengantar makanan untuk tukang yang mengerjakan pembangunan rumah. 

Ada satu cerita yang aku ingat ketika aku mengatarkan makanan. Hari itu sepulang mengantar makanan, aku pulang ke rumah sendiri. Mama tidak ikut tinggal di rumah yang sedang dibangun Motor yang aku kendarai melewati rumah teman sekolahku. Temanku melihat aku melintas kemudian berteriak memanggil namaku. Aku yang mendengar panggilan itu menoleh dan melambaikan tangan. Rupanya aku melaju cukup kencang tangan kiri melambai dan tangan kanan tetap pada gas motor, wajahku berpaling ke kanan ke sumber suara yang memanggil. Ketika aku sadari di depanku sudah ada sebuah becak yang terparkir dengan abang becak yang tertidur di dalamnya. Aku tak mampu mengelak dan mengerem. Akhirnya becak aku tabrak dan atap becak patah, patahan besi menusuk punggung tukang becak. Peristiwa itu membuat orang yang melintas menepikan kendaraannya untuk menolong. Para penolong itu mengeluarkan caci maki yang memerahkan telingga.

“Makanya kalau belum bisa naik motor jangan sok.”

“Ngebut sih bawa motornya.”

Beragam suara yang keluar. Hal itu tidak membuatku gentar. Bapak mengajarkanku untuk bertanggung jawab. Seketika itu pula abang becak aku bawa ke rumah sakit dan becak yang aku tabrak aku titipkan pada temanku yang bergegas datang ke lokasi kejadian. Aku minta becak dibawa ke bengkel terdekat.

“Pak, Nuri salah maafkan Nuri yah. Mulai sekarang Nuri gak mau bawa motor lagi.” Sore itu aku menghadap bapak yang baru pulang dinas.

“Tukang becak bagaimana, Ri?” tanya bapak yang sedang melepas kaos kaki. 

“Tukang becak masih di rumah sakit Pak.” Jawabku tertunduk.

“Trus becaknya bagaimana? Rusak parah atau rusak sekali?” bapak bertanya lagi. Kali ini sambil melepaskan ikat pinggang yang sudah menyesakkan badannya seharian.

“Becak sudah Nuri bawa ke bengkel sepeda Pak. Tapi Nuri belum tahu berapa biayanya. Nanti uang jajan Nuri bapak potong aja yah.” Kataku. Kali ini keringat sudah membajiri sebagian tubuhku. Aku tahu hukuman apa yang akan aku terima dari bapak.

“Besok pulang sekolah kita bezuk tukang becak itu.” Kata bapak sambil merebahkan diri di sofa. Aku lihat betapa lelahnya bapak dan aku sudah mengusik istirahat bapak dengan masalahku. Suasana hening tiba-tiba hanya terdengar suara televisi dan nyanyian dari kamar Susi. Bapak terlihat memejamkan mata. Aku yang melihat bapak seperti itu semakin merasa bersalah. Bapak pasti pusing karena apa yang aku lakukan. Terbayang susahnya bapak karena ulah anaknya ini.

“Pak, mau teh manis.” mama datang dengan segelas teh manis.

“Boleh, Ma masih panaskan?” Bapak bangun dan meminum teh yang dibawa mama.

“Ah, segarnya, manisnya pas.” Bapak puas dengan suguhan mama.

Aku berdiri saja terpaku tak tahu harus berbuat apa sampai bapak menyuruhku duduk di sampingnya.

“Ri, kamu tuh hebat.” Ucapan bapak membuatku terkejut.

“Wah, hebat apanya Pak, sudah menyusahkan tuh dibilang hebat.” Tiba-tiba Susi kakakku muncul dari kamar dan berdiri di pintu kamar sambil memegang radio di tangannya. Rupanya suara nyanyian itu berasal dari radio yang disetel Susi.

“Hebat itu bukan karena salah, hebatnya Nuri bisa bertanggung jawab terhadap apa yang sudah dilakukan. Untuk anak seumur kamu kelas 1 SMP perbuatan kamu tuh sudah hebat.” Kata-kata bapak membuatku lega.

“Nuri hanya melakukan apa yang harus Nuri lakukan, tukang becak itu harus segera ditolong Pak.” Kataku sambil memandang bapak. Kali ini bapak merangkul bahuku. Rasanya tuh mau nangis, dada yang sesak karena bersalah dan badan yang lelah harus mondar-mandir kerumah sakit terbayar sudah.

“Kamu anak bapak yang hebat. Tapi kesalahan kamu dapat jadi pelajaran kalau bawa kendaraan jangan sembarangan yah.” Aku mengangguk tersenyum. Bapak mengacak-acak rambutku dan mendekapku erat. Tak terasa air mata mengalir dari pipiku.

“Wah, ga bisa gitu Pak. Nuri harus dipotong uang jajannya.” Susi keluar dari kamar dan duduk di depan bapak.

“Oh, itu pastilah. Nuri harus bertanggung jawab terhadap biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan abang becak, perbaikan becak, dan uang harian anak-anak tukang becak yang tentu saja selama sepuluh hari bapaknya tidak bisa menarik becak.” Penjelasan bapak membuatku menjauh dan keluar dari dekapan bapak. Baru saja senang sudah harus sedih memikirkan semua biaya yang harus kutanggung. Berapa lama uang jajanku harus dipotong bapak.

Susi yang mendengar penjelasan bapak tertawa senang dan mengejekku. Aku tertunduk kali ini air mata sudah membanjiri pipiku. Bukan sedih memikirkan uang jajan yang tidak aku terima entah selama berapa bulan melainkan mengapa bapak tidak punya solusi dari amsalahku. Katanya anak kelas satu SMP, akukan anak bapak masa bapak tidak mau membantu. Jadi buat apa artinya orangtua bagi anak seumur aku. Memikirkan itu tangisanku berubah menjadi isakan yang akhirnya terdengar oleh bapak.

“Rasakan tuh makanya jangan gaya-gayaan.” Susi mengejekku dan berlari ke kamar. Rasanya Susi puas melihat aku seperti itu. Padahal Susi tidak pernah membantu mama mengantar makanan. Susi tidak bisa mengendarai motor. Kalau diminta mama naik becak mengantarkan makanan untuk tukang, banyak alasan Susi untuk menolak. Senjata paling ampuh adalah sakitnya.

“Mulai sekarang, Nuri harus menggosok kepala ikat pinggang bapak dan menyemir sepatu bapak sampai mengilap. Itu hukumannya dan dilakukan selama dua bulan.” Ucapan bapak membuatku tersentak. Selama ini tugas itu tidak pernah dilakukan oelh siapa pun. Kata mama kalau dilakukan orang lain, bapak tidak puas kurang bersih, kurang mengilap, dan kurang pas untuk ukuran bapak. Kali ini bapak mempercayai padaku. Mama saja tidak pernah dipercaya untuk melakukan tugas itu.

“Bapak gak memotong uang jajanku?” tanyaku sambil memandang bapak. Kali ini bapak tersenyum dan mengacak-acak rambutku lagi. 

“Upah pekerjaan itu sepadan dengan semua tanggung jawab yang sudah kamu lakukan.” Kata bapak lagi.

“Kalau yang Nuri kerjakan kurang bersih dan tidak kilap bagaimana Pak?” tanyaku hati-hati kali ini akau takut salah karena semua atribut bapak harus benar-benar kinclong. 

“Nuri sanggup gak?” sebelum bapak membatalkan niatnya, buru-buru aku mengangguk setuju. Kata bapak. Aku sudah bisa diberi kepercayaan merawat semua atribut pakaian bapak. Pekerjaanku yang suka menolong mama ternyata diperhatikan bapak. Tak kuasa rasanya membendung perasaan ini. Aku berteriak dan memeluk bapak. 

Bapak memang hebat bukan aku yang hebat. Bapak tahu pelajaran apa yang bisa aku ambil dari musibah ini. Susi yang tahu kalau hukuman bapak adalah membersihkan atribut pakaian dinas bapak, tidak terima. Kata Susi pekerjaan itu hanya sepele saja dan iapun bisa melakukan. Bapak menegaskan kalau keputusan bapak harus dihormati. Hebatnya bapak untuk meredam marah Susi, bapak menjanjikan kalau di rumah baru nanti, Susi akan mendapat satu kamar yang besar. Kali ini Susi menyetujui dan senang sekali karena akan mendapat ruang kamar sendiri. 

Adikku Tita senang karena uang jajanku masih utuh, itu berarti aku dan Tita bisa makan bakso sepulang sekolah. Aku dan Tita selalu menyisihkan uang jajan setiap hari. Uang tersebut kami gunakan untuk makan bakso mini di dekat sekolah setiap hari Jumat. Kalau uang jajanku dipotong pastinya aku akan minta bakso Tita dan itu membuat Tita harus makan bakso sedikit. Kejadian itu membuatku berhati-hati berkendaraan.

**************

Rumah yang dibangun memang besar untuk ukuran keluargaku yang biasa menempati rumah kompleks. Luas tanah di rumah ini 15 x 20 M2. Kamar tidur di rumah baru ini ada empat. Ini berarti ada perubahan dalam pembagian kamar. Kamar di rumah baru ini sangat luas dibandingkan rumah kami di kompleks. Ada tiga kamar berukuran 5x 5 M2 terbayangkan luasnya kamar yang akan kami tempati. Satu kamar lagi berukuran 3 x 3 M2 kata mama kamar itu buat adik bungsuku Awan. Bapak dan mama pasti menempati kamar tidur paling depan. Itu berarti ada dua kamar lagi dan aku bisa membaca pikiran bapak untuk menepati janjinya, pastinya satu kamar buat kakakku Susi dan satu lagi buat aku dan adikku Tita. Tebakanku tak meleset, aku tahu jalan pikiran bapak. Susi tak mungkin bersamaku atau Tita apalagi bapak sudah menjanjikan sebuah kamar untuk Susi. Selain itu bapak melihat bahwa semakin beranjak remaja, Susi sibuk dengan dunianya. Kerjanya hanya di kamar mendengarkan musik dan menonton televisi tanpa mau diganggu. Dunia Susi memang berbeda dengan aku dan Tita. Selama ini tak ada teman Susi yang berkunjung ke rumah kami. Tidak seperti aku dan Tita, teman-teman selalu berkunjung ke rumah. Sekadar main atau belajar bersama.

Rumah ini juga rumah masa kecil walaupun aku sudah beranjak remaja ketika menempati rumah ini. Di depan rumah baru ini ada masjid kecil hasil wakaf dari seorang juragan tanah. Seiring perjalanan waktu dan pertambahan penduduk masjid ini melebar. Ada jalan yang lumayan lebar bisa dilalui dua mobil yang berselisihan. Di depan pagar masjid ada pohon buah kawista yang menempel dengan tembok pos kamling. Pohon ini selalu berbuah tak mengenal musim. Bila buahnya yang berkulit keras ini matang pasti jatuh dan meninggalkan harum buah yang sungguh nikmat. Sayangnya aku tak menemukan pohon ini di Jakarta atau bahkan di daerah yang kusinggahi. 

Sejalan dengan pelebaran masjid, pohon kawista ditebang. Sungguh disayangkan karena buah ini sangat langka. Bentuk buah yang termasuk kelompok jeruk-jerukan yang satu ini seukuran apel bersama kulit yang kuat dan juga tebal mirip dengan batok kelapa serta bersisik semisal kulit melon. kulit buah kawista ini memiliki warna cokelat muda saat matang dan juga putih kekuningan saat masih muda, lagi dagingnya memiliki warna cokelat bersama biji-biji yang berukuran kecil 5 sampai 6 mm, berlendir dan juga enggak berasa yang jumlahnya cukup banyak. Daging buahnya lembut dan masam namun legit berwarna coklat seperti dodol. Harumnya buah kawista dapat tercium ketika angin membawa harum buah yang matang dari atas pohon. Konon, buah kawista ini berasal dari india namun sudah menyebar luas ke wilayah kewilayah asia tenggara dan termasuk ke indonesia.

Unik sekali buah kawista ini saat masih muda. Buah kawista ini rasanya begitu pekat dan asam segar sampai banyak yang menjadikannya sebagai bahan untuk rujak. Aku sering membuat rujak dengan adikku bila tanpa sengaja melintas dan buah kawista mengejek minta untuk dipetik padahal masih muda. Saat telah matang, buahnya akan terasa manis legit sekali dan lezat serta memiliki kandungan sensasi cola walaupun zat sodanya tidak tinggi. kalau matangnya pada pohon, buah kawista akan mengeluarkan aroma yang begitu harum dan tidak jarang buahnya akan jatuh sendiri ke tanah. kalau ini terjadi daging buah kawista akan tetap aman sebab kulitnya yang begitu tebal cukup dapat melindungi buah yang ada di dalamnya.

Rumah ini juga menjadikan aku semakin mengenal sosok bapak. Jalan menuju rumah kami bila musim hujan pasti tidak bisa dilewati motor apalagi mobil. Seperti kembali ke kampung yang jauh dari Jakarta. Tanah liat dan hamparan sawah yang membentang layaknya bermukim di kampung. Belum lagi listrik yang belum menjamah daerah rumahku ini yang membuat aku harus selalu ada di rumah bila malam tiba. Setiap malam aku dan adik-adikku belajar menggunakan petromak yang bergantian dipompa bila nyala sinarnya meredup. Kadang aku berpikir, sebenarnya aku tinggal di Jakarta atau di kampung yah? Bapak bercerita bahwa masih ada binatang melata yang akan membuat kami takut. Awalnya aku tak percaya, setelah menyaksikan sendiri binatang ini melata di depanku ketika aku asyik tidur di lantai. Binatang melata ini membuatku menjerit dan jijik. 

“Aduh, bapak seram banget sih. Gak ada lampu, banyak ular, sepi lagi.” Itu protes Susi di hari pertama kami tinggal.

“Pak, balik lagi yah ke rumah kompleks.” Pinta adikku Tita.

“Kemana-mana susah, Pak. Masih magrib aja sudah gak bisa kemana-mana.” Aku ikut menimpali.

Keluhan hari pertama di rumah baru ini hanya ditangapi bapak dengan senyum dan ucapan “sabar pasti ada waktunya.” Teman-temanku tak banyak yang berkunjung ke rumah baru ini. Selain jauh dari kendaraan umum, juga jalan rumah kami yang sulit dilalui oleh sepeda sekalipun.

Jalan tanah yang dijadikan jalan menuju kampung rumah kami adalah tanah liat yang melekat di sepatu atau sandal yang kami kenakan. Kadang aku dan adikku tak memakai sepatu untuk berangkat ke sekolah. Di ujung jalan beraspal, baru aku dan adikku memakai sepatu setelah mencuci terlebih dahulu kaki kami yang belepotan tanah. Keadaan yang amat menyiksa terjadi apabila musim hujan tiba. Selain tanah menempel di kaki dan sepatu, juga aku dan warga kampung suka terpeleset karena licinnya jalan yang kami lalui. Kalau sudah demikian aku sering belepotan tanah sampai sekolah bahkan karena malu aku sering bolos tidak masuk sekolah, pulang lagi ke rumah. 

Melihat situasi jalan yang sering merugikan warga, bapak memiliki ide untuk bergotong royong membangun jalan agar mudah dilalui. Bapak mengumpulkan para tetua kampung dan para pemuda dan secara swadaya dan swadana dimulailah pembangunan jalan. 

“Pak haji, kita harus perbaiki akses jalan biar mudah semua urusan.” Aku dengar bapak ngobrol dengan pak haji Gofur seorang sesepuh kampung. Bapak meminta dukungan agar rencana memperbaiki jalan bisa didukung oleh warga asli. Keluarga kami adalah kaum pendatang, kata bapak tidak etis kalau melangkahi warga asli yang memang sudah sangat dikenal masyarakat. Proses yang kata bapak lobi dilakukan di masjid sambil berbincang hangat selepas sholat magrib sambil menunggu waktu isya. 

“Wah repot banget yak kalo suruh kumpulin duit, kan tahu sendiri warga pada males kalo disuruh sumbangan.” Kata haji Gopur dengan logat Betawinya yang kental.

Bapak membeberkan usul tentang pembangunan jalan dengan detail. Aku ikut mendengar karena kebetulan selepas magrib, aku ikut pengajian oleh pak Ustad ali. Usulan bapak bisa diterima oleh para sesepuh kampung terutama Haji Gopur. Aku belajar dari bapak, Haji Gopur adalah sesepuh kampung, kalau Haji Gopur setuju pastinya warga asli kampung akan mengikuti Haji Gopur. Ah, politik berbisnis bapak memang luar biasa. Jadi tak perlu merayu semua warga. Cukup ambil hati Haji Gopur. 

Warga yang memiliki materi menyumbangkan uang untuk membeli bahan material. Warga yang tidak memiliki materi, bapak minta membantu pembangunan jalan dengan tenaga. Selama tiga bulan setiap hari Sabtu dan Minggu para warga bahu-membahu membangun jalan kampung. Akhinya jalan kampung bisa dilalui dengan nyaman walau hanya dari adukan semen dan sampah besi. Jalan rumahku sudah nyaman dan tidak kotor bila dilalui. Jalan yang belum mulus seperti jalan aspal kini terbentang di depan mata. Semua warga senang, mereka berterima kasih pada bapak. 

Acara peresmian jalan kampung sengaja diadakan walau hanya makan-makan kecil. Setiap keluarga membawa tampah yang berisi nasi, lauk (ada ikan dan telor rebus), dan sambal. Mama dan beberapa ibu membuat sayur asem yang katanya sayurnya orang Jakarta. Semua makanan digelar di sepanjang jalan waktu itu sudah sore. Kami duduk beralas tikar yang sengaja digelar. Ide bapak ini benar-benar luar biasa. Aku bisa mengenal setiap warga kampung tanpa harus susah payah mendatangi satu persatu. 

Di kampung itu bapak memang menjadi tokoh panutan. Ada saja warga yang berselisih datang ke rumah kami untuk meminta bapak membantu perselisihan mereka. Ada masalah utang piutang, masalah pertengkaran antartetangga, bahkan pertengkaran suami istri. Aku semakin kagum pada bapak yang mampu menyelesaikan semua persoalan itu dengan bijak.

Pohon kawista di depan rumah menjadi saksi juga perkenalanku dengan seorang pemuda kampung yang mampu menggetarkan hatiku. Kepindahan kami ke rumah ini membuat kampung menjadi bertambah penghuni. Pemuda itu anak ketua RT dan juga juragan tanah. Sikapnya yang santun dan baik menjadi aku terpana. Usiaku masih 14 tahun ketika hatiku mulai merasakan dawai cinta. Masih bau kencur kata bapak jadi tak usah macam-macam. Waktu itu bapak melihat kedekatanku dengan pemuda itu.Kisah cinta yang kurasakan indah dan penuh warna. Selama pembangunan jalan, pemuda itu yang usianya lebih tua dariku hanya terpaut dua tahun turut serta menyukseskan pembangunan jalan. Badannya yang tegap dan gagah mampu mencuri hatiku. 

Kisah cintaku yang kata bapak masih bau kencur hanya sebatas curi-curi pandang saja. Setiap lewat depan rumahnya aku selalu mencari alasan agar dapat berhenti dan memandang rumahnya. Surat cinta yang aku terima kala itu sungguh romantis dan menakutkan. Yah memang romantis karena aku baru menerima surat dari seorang pria. Menakutkan karena aku membaca surat di kamar mandi hanya diterangi oleh nyala lilin. Hal itu aku lakukan karena aku tak sabar membacanya menunggu matahari esok sangatlah lama. Pujaanku itu memberikan surat ketika kami bertemu sehabis shalat magrib. Ternyata selain aku yang penasaran membaca surat, ada makhluk lain yang juga ikutan membaca surat. Ia melata tepat di depan kakiku yang tegak berdiri. Aku tahu ada binatang itu ketika aku rasakan benda licin menyentuh kakiku. Karena aku fokus pada surat di tangan hingga kehadiran makhluk itu tak aku rasakan. Aku menjerit lari keluar kamar mandi setelah tahu makluk tanpa ekor yang licin dekat di kakiku. Rupanya makhluk itu masuk lewat lubang air di kamar mandi.

**************

“Nuri, kalau dia sayang dengan kamu, pasti gak akan membuat malu kamu apalagi bapak.” Hari itu bapak menemukan pemuda pujaan hatiku mabuk karena minum-minuman keras di poskamling. Pemuda pujaan hatiku, subuh itu tergeletak di pos kamling dengan bau alkohol dari mulutnya. Aku yang melihat keadaan pujaan hatiku seperti itu menjadi jengkel, marah, sakit hati. Benar kata bapak, pemuda itu tidak mencintaiku. Ia tidak tahu menjaga diri dan juga perasaanku. Sedih memang tapi aku harus mengambil sikap, masa remaja yang indah harus diperhitungkan. Hari itu juga aku memutuskan tali kasih kami. Toh aku masih SMA belum cukup untuk lebih serius menjalin hubungan. 



Bapak dan Cerita Cintaku 

BAB III 



Sejak pemuda pujaanku ketahuan oleh bapak mabuk di depan rumah kami. Sejak itu pula, aku berusaha tidak terlalu mencolok dekat dengannya. Menjaga martabat bapak di depan orang kampung yang terus terang menghormati bapak. Aku berusaha meyakinkan bapak bahwa pujaanku itu akan berubah, 

“Nuri, kalau dia sayang dan cinta dengan kamu, pasti ia tidak akan memberi kamu malu.” Kata bapak melihatku termenung di kamar. 

“Nuri coba memperbaiki kelakuannya boleh Pak?” kataku masih berharap bapak merestui. 

Malam itu senja masih menapak bapak seperti biasa menyalakan lampu petromax yang kami punya. Ironis memang bila di Jakarta kami belum mendapat listrik. Sebagai penerangan utama di dalam rumah, lampu petromax menjadi andalan keluargaku. Apalagi bila banyak pekerjaan rumah yang harus aku dan saudara-saudaraku kerjakan. Sebenarnya, kata bapak Petromax adalah mereka dagang resmi, yang lalu latah dipakai secara umum untuk lampu sejenis meskipun jelas-jelas mereknya berbeda. Kalau lampu sudah mulai meredup, bergantian aku dan bapak memompa petromax. Awalnya aku tidak bisa mengoperasikan lampu ini. Aku selalu memeprhatikan bapak menyalakan lampu petromax, kalau bapak pergi kerja malam, aku yang menggantikan bapak menyalakan lampu. 

“Perhatikan Nuri kamu bapak andalkan yah,” kata bapak sore itu. Kami baru seminggu tinggal di rumah baru dan hanya dibantu nyala lilin. Tentu saja pemborosan karena harus selalu beli lilin. Kadang mama menggunakan lampu teplok hanya tidak menyala terang.Bapak mengandalkan aku, selain tentu saja mama. Kakakku Susi seperti biasa tak mungkin melakukan pekerjaan ini. 

“Aku ikut yah Pak.” Kata Awan yang sore itu sudah selesai mandi dengan bedak tebal di mukanya. Biasanya aku akan mencubitnya dan mengendong Awan menggantikan mama yang sholat. 

“Boleh, Awan kan anak laki-laki jadi harus pinter nyalakan petromax.” Jawab bapak sambil mengendong Awan dan menenteng petromax ke luar rumah. 

Di teras inilah rutinitas menyalakan petromax kami mulai. Ingat petromax, aku selalu terkenang saat-saat menjelang senja, saat bersama bapak menyalakan lampu itu. Aku hafal betul cara bapak menyalakan lampu itu. Bapak mengajarkanku dengan hati-hati. Kata bapak aku anak perempuan jadi usahakan jangan sampai minyak tanah merusak kulitku. 

Pelajaran bapak untukku dan adikku selalu kuingat senja yang merona jadi saksi bagaimana bapak membuatku mandiri. Kata bapak letakkan petromax di lantai. Angkat kacanya, tuang spiritus pada mangkuk logam di dalamnya,. Di dalam tabung petromax ada kaos lampu. Nah, kata bapak kaos lampu itu harus dibakar. Nyalakan dengan korek api, biarkan sebentar. Spiritus akan membakar kaos lampu sebelum lenyap menjadi gas, menghasilkan pijar di kaos lampu seperti bohlam. Saat kaos lampu menyala, Awan segera berebut di belakang bapak, memegang pinggang bapak lalu ketika bapak mulai memompa, aku dan Awan pun menirukan gerakan papa, mendut-mendut naik…turun…. Hahahaha, nanti akan muncul bayangan kami di dinding. Seru dan menjadi permainan sore hari yang tak akan terlupakan. 

Untuk mempertahankan agar pijar petromax itu terus menyala terang, petromax harus dipompa. Kemudian, petromax akan menyala terang dan berbunyi zheeeng… lembut. Itulah tanda petromax telah menyala sempurna. Aktivitas memompa membuat keringat berjatuhan. Aktivitas inilah yang menajdi andalanku. Setelah bapak memasang kap lampu agar sinarnya terfokus. Bapak akan menggantungka petromak pada kait besi yang dipasang pada reng atap di ruang tamu. Pada ketinggian itu, petromax mampu menerangi seisi ruang tengah keluarga kami. 

“Nah, selesai deh lampu kita.” Awan berteriak kegirangan dan minta bapak menggendongnya agar dapat mencapai tinggi petromax. Kenangan tentang petromax memang cukup indah. Karena petromax membantu kisah kasihku. Biasanya pujaan hatiku membantu menyalakan petromax. Aktivitas menyalakan petromax kami lakukan bersama kalau bapak dinas sore. Hehehehe, masih belum berani mengingat pujaanku ini pernah salah yang membuat bapak marah. Hanya menyalakan petromax bersama-sama saja rasanya sudah melayang jiwa ini. 

Listrik menyala di kampung kami itu tandanya aktivitas petromax tak ada lagi. Aku tak bisa lagi pura-pura meminta AA datang di sore hari untuk membantuku menyalakan petromak. Sebenarnya aku senang, rumahku dan semua rumah di daerahku menjadi terang benderang. Tapi aku tak bisa menatap AA ketika membantuku menyalakan petromax dari dekat. 

Hubungan yang aku jalani bersama pujaan hatiku ini sudah cukup lama. Bagiku ia adalah cinta pertama dan terakhir. Perkara putus sambung sudah biasa, maklumlah usia kami masih sangat muda perbedaan usiaku terpaut hanya 1 tahun. Jiwa muda masih sering melanda. Sedikit cemburu sedikit marah bila tidak diperhatikan menjadi bumbu penyedap dalam hubungan kami. 

Perlakuan buruk pujaanku ini dipicu oleh uang yang ia dapatkan. Yah, pujaanku mendapat uang dari warisan orangtuanya. Ayahnya yag biasa dipanggil babe adalah seorang juragan tanah. Kekayaan dan luas tanahnya melebihi kepunyaan Haji Gopur. Ibunya seorang wanita Sunda tepatnya orang Bogor. Pujaanku ini biasa aku panggil “AA”. Katanya panggilan itu sangat khas dan ia suka panggilan itu daripada “abang” yang biasa jadi panggilan orang Betawi. Ayahnya meninggal ketika aku baru sebulan menempati rumah ini. Tanah orangtuanya dibeli oleh pengusaha untuk dijadikan pabrik. Masa itu uang yang diterima orang pujaanku cukup membeli rumah di perumahan mewah di Jakarta. Sayangnya uang itu ia habiskan di meja judi dan minum-minuman keras. Pujaanku tidak melanjutkan kuliah. Aku sudah membujuknya untuk kuliah. Tapi katanya, kuliah bikin cape mikir dan terkekang. Cita-citanya ingin jadi polisi. Masa itu menjadi polisi adalah kebanggaan apalagi kalau orantua bukan polisi. Sayangnya AA memliki penyakit yang membuatnya gagal masuk polisi. Kerja pun aa tidak mau baginya uang yang diwariskan orangtuanya cukup membuat dirinya hidup berkecukupan. 

“Yang, menikah denganku biar aku tidak kuliah dan tidak kerja, tapi uang warisan bisa menghidupi kita tujuh turunan.” Pujaanku meminangku ketika itu ia main ke rumah kos aku. Setiap hari Senin, AA selalu mengantarku ke kos. Hari Jumat sore AA akan menjemput ke kos karena Sabtu-Minggu aku libur kuliah. 

“Bapak gak akan ijinkan A.” Aku tahu komitmen yang harus aku pegang. Bapak meminta aku tidak menikah sebelum aku lulus kuliah. Bapak ingin aku memakai toga didampingi bapak dan mama bukan dengan suami. 

Pinangan itu belum aku setujui, mengingat bapak pasti tidak memberi ijin. Bapak menginginkan aku menyelesaikan kuliah. Apalagi pujaanku belum bekerja. Kata bapak laki-laki itu harus punya pegangan bukan uang tapi pekerjaan. Pendapat bapak bisa aku terima karena orang akan bertanya “kerja dimana?” bukan “punya uang berapa?”. Walaupun uang warisan AA banyak tapi aku tak pernah meminta sepeser pun. 

Pinangan itu tidak aku tolak, aku meminta AA sabar tinggal selangkah lagi aku menjadi sarjana. Bagiku AA adalah pilihanku karena cintaku pada AA cukup besar. Bagiku ia adalah pilihan hati. Aku hanya menjalin cinta dengannya padahal banyak yang mencoba mencuri hatiku. Aku memang begitu setia pada AA hingga suatu hari kesetiaanku hancur. Benar kata bapak, AA belum berubah. Kali ini benar-benar menusuk hati menikam jantung. 

Subuh itu Ramadhan hari ke 21 aku ingat sekali subuh yang membiru. Subuh yang menggoreskan luka begitu dalam di hati ini. Setelah sahur aku bergegas menyambut Subuh berkunjung ke rumah AA yang rumahnya tidak jauh dari rumahku. Seperti subuh-subuh di bulan Ramadhan yang kami lalui. Hari ini aku yang ke rumahnya. Tadi malam aku tidak melihat AA di masjid untuk taraweh. Kata teman AA, dari pagi AA tidak ada di rumah. Subuh yang dingin aku mengajaknya untuk pergi ke masjid sama-sama. Biasanya aku yang menunggu di masjid. Kali ini aku ke rumahnya mengajaknya berangkat ke masjid bersama. Entah karena tidak bertemunya semalam atau karena aku rindu. 

Rumah itu masih tertutup hanya terdengar suara pelan pasti suara ibu AA. Aku sudah biasa ke rumah itu. Rumah itu seperti rumahku. Setiap lekuk rumah aku hapal. Kadang aku membantu ibu memasak atau sekadar ngobrol. 

“Assalamulaikum, Bu, sudah sahurkah?” teriakku pelan sambil mengetuk pintu rumah. Aku tahu ibu pasti sudah bangun. Lampu ruang tamu sudah terang. 

Suara sahutan terdengar dari dalam, suara sandal yang diseret terdengar mendekat. Pintu tidak terkunci jadi karena sudah ada sahutan aku membuka pintu. Niatku hanya memudahkan ibu yang harus menyeret sandal untuk mencapai pintu. Ibu memang sedang sakit. 

“AA sudah bangun Bu?” tanyaku sambil aku cium tangan ibu. Tapi wajah ibu kelihatan tegang dan takut. Aku pikir karena ibu sakit. 

“Eh, eh...” suara ibu tercekat. Aku duduk di ruang tamu. Di depan ruang tamu itu adalah kamar AA. Kamar itu masih tertutup. Waktu sahur tinggal sepuluh menit aku bangkit dan menuju kamar AA. Sebelum aku membuka pintu, seorang wanita dengan handuk di bahu dan rambut basah keluar dari kamar. Pakaian yang dikenakan hanya kaos tanpa lengan dan celana pendek. Aku benar-benar kaget tak menyangka. Kulihat ibu tertunduk mungkin malu atau risih. Aku masih berprasangka baik mungkin ada keluarga ibu yang menginap. Wanita itu tersenyum dan menyapaku. Aku masih termangu berdiri di samping ibu tak kuasa berbicara. 

Belum habis rasa terkejutku, AA keluar dari kamar dengan bertelanjang dada dan sarung di pinggang. Kali ini aku benar-benar lemas. Hatiku tercabik pisau belati, perih sekali. Pujaan hatiku yang kucintai sampai dasar hati keluar dari satu kamar dengan seorang wanita yang tidak aku kenal. 

“A...” hanya satu huruf itu yang keluar dari mulutku. 

“Ibu gak tahu kalau Nuri mau kesini.” Kata ibu yang kali ini memegang tanganku. 

Aku tertunduk ingin rasanya menangis melihat peristiwa di depan mataku. Selama ini aku hanya mendengar kabar miring tentang pujaan hatiku ini yang sering mengunjungi tempat hiburan malam. Bagiku kalau belum melihat sendiri aku tidak percaya dan aku masih setia. 

“Yang, ngapain ke sini.” Kalimat itu yang keluar dari mulut pujaanku. Ia mendekatiku dan memegang pundakku. Aku benar-benar jijik. Aku berlari pulang dengan luka yang teramat dalam. Kesetiaanku harus dibalas dengan pengkhianatan. 

Hatiku sakit bukan kepalang, kesetiaan yang aku gadang-gadangkan hanya untuk pujaanku dibalas seperti itu. Aku memang keras kepala padahal bapak sudah menasihati agar menyudahi percintaanku dengan pujaan hatiku. Selama ini aku menunggu dan percaya pujaanku akan berubah. Peristiwa itu membuat aku harus menyudahi kisah kasihku walaupun berat kurasa. 

Hatiku memang tak bisa menerima. Orang sekampung tempat tinggal kami sudah mengetahui percintaanku dengan AA. Cinta yang tumbuh dari aku remaja hingga aku menjadi mahasiswa, kini remuk tak berkeping. Bagi orang kampung kami adalah pasangan yang sangat cocok dan akan melangkah ke jenjang pernikahan. Orang-orang kampung selalu berkata, “Mba Nuri sama abang cocok.” Keluarga AA sudah menyetujui dan menunggu hingga ku selesai kuliah. Itu yang selalu aku katakan. Ketika itu, ibu dan kakak AA ke rumah ingin meminangku. Apa yang salah dengan diriku. Aku tak pernah berpaling ke lain hati. 


Ternyata aku harus mengalah benar kata bapak kalau ia sayang padaku tentu tak akan memberiku rasa sakit ini. Luka yang ditorehkan AA benar-benar membuatku sakit. Beberapa kali hubungan kami memang diuji. Aku mampu membawa AA untuk bangkit. Kali ini aku memang harus memilih. Kenyataan yang tak bisa aku lawan. AA tak pernah mencintaiku. 



“Gak diantar AA?” tanya Susi kakakku yang melihatku pagi-pagi buta sebelum subuh sudah berangkat kuliah. 

“AA, lagi sibuk.” Jawabku sambil berpamitan pada bapak dan mama. 

“Sibuk apa yah, perasaan tuh anak gak kerja yah.” Kali ini komentar Susi membuatku kesal. 

“Nuri, mau ikut bapak?” tanya bapak memutus ocehan Susi. 

Pagi itu aku pergi kuliah berboncengan motor dengan bapak. Sepanjang jalan aku terdiam. Biasanya ada saja ceritaku dan cerita bapak. Kali ini bapak paham arti diam anaknya. Bapak menurunkan aku di terminal. Dari terminal aku akan melanjutkan perjalanan ke terminal lagi tapi ini Terminal Senen. Aku memang kos di daerah dekat kampusku. Biasanya tugas AA yang mengantar dan menjemputku. 

“harus biasa dan bisa.” Kali ini aku bergumam sendiri karena sepanjang jalan aku harus bergelantungan tidak duduk di bus yang aku tumpangi. Hari ini sudah dua minggu aku tak bersama AA. 

************* 

Pada akhirnya aku memang harus meninggalkan cinta pertamaku untuk menikah lebih dahulu daripada dia. Pilihan hidupku ini memang di luar dugaan. Aku tak menjalin kasih yang lama tidak seperti dengan AA. Kisah kasih kami terbentang dari aku remaja piyik waktu itu aku kelas 2 SMP hingga aku menjadi mahasiswa semester 5. Aku menerima pinangan si abang. Awalnya memang pilihan yang cukup sulit apalagi bapak tidak setuju dengan pilihanku. 

“Memang tidak ada yah pria seiman yang mau sama kamu?” tanya bapak padaku yang hari ini sedang mengerjakan tugas kuliah. 

Kuliahku belum rampung tinggal menjemput impian saja. Semester 7 baru berlangsung dua bulan ketika aku kemukakan keinginanku untuk menikah. Aku tahu bapak pasti tidak menyetujui, selain terpaut usiaku yang cukup jauh dari si abang juga abang tidak seiman denganku. Bapak tahu masalahku dengan AA. Hatiku yang sakit tak luput dari pengamatan bapak. Pilihanku ini memang disayangkan oleh bapak. Satu persatu aku tuntaskan, aku suruh abang menentukan pilihan keimanannya dahulu baru bisa meminangku. Hal itu kulakukan tanpa sepengetahuan bapak. 

Ketika si abang akhirnya menyetujui untuk bersama dalam iman, baru aku bilang pada bapak keinginanku ini. Pada akhinya aku tahu mengapa bapak dulu tak menyetujui pernikahanku. Satu-satunya anak perempuan bapak yang tidak langsung dinikahkan bapak adalah aku. Sedih rasanya tapi ini adalah pilihan hidupku. Aku buktikan pada bapak bahwa aku tak akan mengubur impian bapak. 

Aku anak ketiga yang akhirnya harus naik pangkat menjadi anak kedua karena kakak keduaku meninggal dunia. Tapi aku anak pertama bapak yang akan menjadi sarjana. Pernikahanku hampir mengubur impian bapak menyaksikan anaknya menjadi sarjana. Setelah menikah aku tinggal di rumah bapak. Si abang kerja dekat rumah bapak. Yah perkenalanku dengan abang karena si abang adalah pelanggan setia warung nasi mama. Untuk menguliahi aku dan adik-adik, mama berjualan nasi di warung dan si abang adalah pelanggan setia. Setiap pulang kuliah aku sering membantu mama dari situlah aku berkenalan dengan si abang. 

“Kenapa sedih Dek?” tanya si abang yang hari itu mampir ke warung. Warung nasi mama masih buka hingga pukul 9 malam. Biasanya pelanggan mama adalah pekerja pabrik yang dekat dengan warung. 

Abang adalah pelanggan setia mama. Menu yang diminta selalu nasi dan telur dadar. Kalau si abang ingin mie rebus, telurnya selalu didadar. Aku hapal kebiasaannya. Usianya terpaut 12 tahun denganku. Sifatnya yang penyabar dan selalu mau mendengar ceritaku, membuat aku bisa nyaman berkeluh kesah. Biasanya aku selalu bercerita tentang kisah kasihku dengan AA. Si abang kos di rumah AA. Hari itu aku sendiri yang jaga warung, mama pulang untuk shalat magrib. Aku bercerita tentang kuliahku dan kisah kasihku yang harus berakhir karena lagi-lagi pujaan hatiku ini menyakitiku. 

Seperti biasa si abang akan datang dengan gayanya santun dan sabar mendengarkan semua ceritaku. Lama kelamaan tumbuh benih kasih di antara kami. Aku sebenarnya hanya kasihan karena si abang begitu sabar dan mau mendengar ceritaku. Hal ini jarang aku temui pada diri AA yang selalu dipenuhi emosi. Si abang mampu membuatku nyaman dan tenang. Emosiku yang kadang suka meledak-ledak dapat reda di samping si abang. 

Kata orang kampung pamali menolak lamaran. Aku sudah menolak tiga kali lamaran pria. Lamaran pertama dari AA yang terpaksa ditolak bapak, karena ia belum bekerja selain itu bapak ingin aku merampungkan kuliah dulu. Lamaran kedua dari seorang guru. Aku mengenalnya di tempat aku magang dari kampus. Kalau ini memang benar-benar keterlaluan. Aku tak tahu kalau Minggu pagi ia datang bersama rombongan keluarganya ke rumah untuk meminang. Padahal aku dan dia tak pernah menjalin kasih. Katanya ia melihatku pasti cocok jadi pendamping hidupnya, jadi pertemuankeluarga ini sekalian silaturahmi dan meminta aku jadi istrinya. Alamak mana bisa seperti itu kenal saja baru itupun di tempat aku magang. Tentu saja lamaran itu aku tolak. 

Ketika si abang datang dan melamarku, aku ingat perkataan orang kampung kalau menolak untuk yang ketiga kalinya alamat jauh jodohku waduh bisa perawan tua aku nih. Si abang datang ketika aku gelisah dan jiwa remajaku yang mulai tumbuh untuk dewasa perlu bimbingan. Si abang datang dengan semua itu. Aku tak peduli kata bapak dan kata mama, bahkan aku sudah buta akan semua nasihat untuk tidak menjalin cinta dengan orang yang tidak seiman. 

“Nanti kamu susah sendiri Nuri, karena keluarganya tidak seiman dengan kita.” Bapak masih membujukku agar memikirkan pernikahan yang akan aku jalani. 

“Pak, si abang sudah seiman dengan kita. Kalau keluarganya biar saja.” Aku masih bertahan dengan niatku. Aku tahu bapak sudah aku lukai hatinya dengan mengesampingkan sarjanaku. Hal yang membanggakan untuk bapak belum aku persembahan. Keinginan bapak untuk mendampingiku ketika wisuda tanpa kehadiran lelaki lain akan punah. Aku tak memikirkan perasaan bapak. Aku hanya berjanji tak akan membuat luka lagi hatinya. Namun pada akhirnya bapak harus juga merasakan bagaimana hati anaknya tersakiti karena pernikahan yang dijalani. 

Pernikahanku digelar di rumah. Penghulu kecamatan tempat tinggalku yang menikahkan. Aku cukup terkejut dengan keputusan bapak. Aku menyadari hati bapak masih terluka karena aku menikah dengan pria yang baru saja seiman denganku selain itu aku tidak menepati janji. Aku belum menyerahkan toga sarjanaku pada bapak. Aku malah menyerahkan tugas bapak pada laki-laki yang akan menjadi imamku. 

***************** 

“Nuri, bangun kuliah kamu!” pagi itu bapak mengetuk pintu kamarku. 

Setiap pagi selalu suara bapak yang membangunkan aku. Begitu besar harapan bapak agar aku merampungkan sarjanaku membuatku malu. Cambuk bapak setiap hari menghantamku. Allah tahu yang terbaik untuk umatnya. Dua tahun pernikahan aku belum memperoleh momongan. Setiap malam kesibukan merampungkan skripsi dengan bermodalkan mesin tik tua pemberian bapak aku lakukan. Hebatnya bapak selalu menemaniku untuk mengetik. Bapak menemani sambil menonton televisi sementara si abang karena lelah sepulang kerja sudah tertidur lelap. Kadang hingga tengah malam aku baru menyelesaikan ketikanku. Itupun karena bapak yang meminta. Bapak melihat aku sudah lelah dan banyak salah tulis yang aku ketik. 

“Nuri, sudah malam, tidur besok dilanjutkan.” Suara bapak mengantar aku menutup pekerjaanku malam itu. Sebenarnya tinggal sedikit lagi skripsiku. 

Perjuanganku untuk menyelesaikan kuliahku memang luar biasa. Selama perjalanan itu bapak menemaniku hingga aku meraih gelar sarjana. 

Bapak 

tunas yang kau tanam dulu 

kini telah tumbuh 

siraman kasihmu 

membuatnya subur 

cambukmu melecutkan 

semangat juangnya 

Bapak 

Teruslah menyiram 

Teruslah melecutkan 

Agar bisa terus subur 

Agar selalu bersemangat 



Sepenggal puisi yang aku tulis di halaman persembahan skripsiku. Bagiku bapak adalah sahabat terbaik dan motivator hidupku. 



Bapak dan Cita-cita Anakku 

BAB IV 



“Pak, bisa ikut Nuri ke rumah?” tanyaku pada bapak sore itu. 

Aku lihat bapak sedang asyik menonton televisi. Seperti biasa bapak tidak duduk manis menonton pertandingan sepak bola kegemarannya. Entah kesebelasan mana yang diteriaki bapak dengan semangatnya. Yah bapak selalu seperti itu kalau menonton pertandingan bola, siapapun kesebelasan yang tampil gaya bapak selalu begitu. Berdiri di depan televisi sambil sesekali berteriak “Aduh, alamak, yahhh, hajar!” 

Gaya bapak memang membuat yang melihat geleng-geleng kepala. Kalau tidak pemain sepak bola melakukan kesalahan (ini menurut bapak padahal bapak sendiri tidak bisa main sepakbola) dengan teriakan lantang bapak akan memecah suasana rumah kadang malah memaki. Tinggallah mamahku yang geleng-geleng kepala sambil menutup telinga mendengar teriakan bapak. Kali ini mama menyingkir ke kamar dan diam di kamar sambil berbaring. 

“Tuh, suara bapak buat kuping pekak deh.” Gerutu mama padaku yang sore itu datang untuk menjemput bapak. Mama mengajakku menyingkir ke kamar. Mama tahu aku datang dengan maksud yang lain, apalagi kalau bukan urusan Ray dan si Mbak. Keinginan mengajak bapak ke rumah seperti biasa harus bersabar menunggu bapak menyelesaikan teriakannya. Biasanya aku sudah paham maksud mama. 

“Kenapa, Ri si Mbak pulang yah?” tebakan mama memang jitu sekali. Yah kalau Mbak pengasuh anakku pulang kampung biasanya bapak yang aku sandera untuk menjaga anakku. Selama lima hari dari hari Senin sampai hari Jumat, bapak akan tinggal di rumahku untuk menjaga anakku. Itulah susahnya bila tidak ada si Mbak. Untungnya bapak bisa membantuku. Mengapa bukan mama? Pertanyaan itu selalu dilontarkan teman-teman kerjaku. Mama juga dititipi adikku anak-anaknya yang memang bersekolah di dekat rumah mama. Keponakanku itu sepulang sekolah akan menunggu mamanya sepulang kerja di rumah mamaku. 

Sudah lima tahun aku dan adikku pindah dari rumah bapak dengan maksud membangun rumah tangga dengan rumah sendiri. Rumah yang aku bangun tak jauh dari rumah bapak masih dalam satu kecamatan berjarak 2 kilometer. Rumah bapak akan selalu aku lewati jika aku pergi bekerja atau pergi ke pusat perbelanjaan. Istilahnya rumah bapak tempat yang strategis untuk dilewati dan disinggahi. Makanya adikku menyekolahkan anaknya di dekat rumah bapak. Selain hemat tidak perlu menggaji asisten rumah tangga juga anaknya aman bersama orangtuaku. 

Rumah mewah sekali, itu julukan bapak untuk rumahku. Bapaks elalu ada kata yang indah untuk julukan yang ia berikan. 

Awalnya bapak dan mama tidak setuju aku dan adikku pindah dari rumah bapak. Kata mereka rumah bapak besar kamarnya banyak Aku dan adikku berusaha meyakinkan bahwa kami harus mandiri. Ternyata tidak bisa mandiri juga yah. Aku selalu menyandera bapak kalau tidak punya asisten rumah tangga. Adikku menitipkan kedua anaknya di rumah bapak. 

Rumahku memang tidak besar di tanah kavling yang kami beli dengan mencicil pada seorang tuan tanah asli Betawi. Sedikit demi sedikit kami membangun rumah mulai dari satu kamar hingga menjadi rumah yang utuh ada ruang tamu kamar, kamar tiga, ruang keluarga dan dapur. Uang pembangunan tentu saja dari hasil mengambil di bank dengan menitipkan SK PNSku. Miris sekali kalau ingat surat berharga yang mengesyahkan aku sebagai pegawai negeri itu selalu dititipkan di bank. Keyakinanku bahwa kami dapat hidup dari pendapatan suamiku dan pendapatanku mengajar di sekolah swasta. 

“Pak, ikut yah ke rumah Nuri.” Kataku sambil memegang tangan kiri bapak yang masih berdiri di depan televisi dengan berkacak pinggang. 

“Alahhhhh.” Tangan kanan bapak melayang ke udara itu artinya terjadi kesalahan pada pertandingan sepak bola dan pertandingan berakhir dengan meninggalkan ketidakpuasan pada penontonnya siapa lagi kalau bukan bapak. Bapak menengok aku yang berdiri di belakangnya. Sebelum bapak bicara, aku sudah menyodorkan selembar surat dan menyerahkan pada bapak sambil tersenyum. 

“Ini surat kontrak kerjanya yah Pak Kapten.” Kataku menggoda bapak yang selalu menanyakan kontrak kerja selama bapak tinggal di rumahku. Padahal bapak dan aku tahu kertas itu tidak ada isi apa-apa alias kosong. Tentu saja aku ambil dari lembar kertas di buku anakku. 

“Dengan ini saya: Dra. Nuri akan memperkerjakan Kapten Mochamad Basin selama lima hari kerja, menjemput pada hari minggu sore dan mengantar kembali pada hari jumat sore.” Suara bapak lantang sekali membacakan kertas kosong yang aku sodorkan pada bapak. 

Aku dan mamah serta anakku yang mendengar bapak membaca surat perjanjian kontrak kerja kosong itu jadi tertawa geli. Bapak selalu punya cara untuk membuat kami semua merasa bangga memiliki bapak. Ada saja ulah bapak untuk menghangatkan suasana. 

“Mulai deh Bapak gaya.” Seru mama yang sore itu tak berhenti tertawa. 

“Payah nih Mah, kerja lima hari tak berhonor.” Bapak duduk dengan wajah memelas dan mulut dimajukan ke depan. Tingkah bapak ini semakin membuat kami tertawa. Anakku memeluk kakeknya dengan manja. 

“Yuk, Pak bereskan pakaian dan sarung Bapak.” Kataku sambil mendorong pinggang Bapak ke kamar. 

“Asyik, aku dijaga Nek Anang.” Kata anakku Ray yang sore itu harus aku ajak menjemput bapakku. Nek Anang adalah panggilan cucu-cucu untuk bapakku. 

Hebatnya lagi bapaklah yang membocengkan aku dan Ray dengan motor. Bapakku memang masih gagah untuk mengendarai motor padahal usia bapak sudah 70 tahun. Kalau aku minta aku saja yang memboncengkan bapak, pastinya bapak akan marah dan bilang bahwa bapak masih kuat. Sebagai pensiunan polisi, stamina bapak memang luar biasa. 

“Mau kemana Kek.” Kata seorang ibu melihat bapak dan aku akan pergi. 

Seperti biasa bapak akan mempersiapkan aksi teaterikal sambil mendekap tas berisi bajunya ke depan dada. Wajahnya disedih-sedihkan seperti anak yang diusir dari rumah. Tangan bapak menunjuk mamaku yang masih berdiri di depan pintu pagar. Kalau hal ini kami semua anak-anaknya sudah hapal kelakuan bapak. Semakin ditanya bapak akan membuat si penanya semakin penasaran dengan wajah sedih dan isak tangis yang dibuat-buat. Bapak akan berkata kalau dipaksa berpisah dengan mamaku. 

Ah, bapak ada-ada saja. Biasanya si penanya akan menyadari bahwa bapak sedang bergurau. Bapak memang penuh canda bahkan dengan siapa saja. Sore itu bapak berhasil kuboyong. Berpisah lima hari dengan mamaku sebenarnya tak tega juga aku, tapi apa boleh buat tanpa si Mbak aku benar-benar bingung bagaimana harus bekerja. 

“Ri, masak apa hari ini?” tanya bapak pagi itu yang melihat aku sudah sibuk di dapur. Seperti biasa kalau bapak tinggal denganku, aku akan menyiapkan masakan untuk bapak dan anakku sarapan serta makan siang. 

Sekolah anakku dekat dengan rumah hanya berjarak lima ratus meter saja sebuah sekolah dasar Islam. Sarapan untuk bapak dan kedua anakku sudah siap berikut makanan untuk mereka makan siang nanti. Pagi itu aku antar Ray kesekolahnya dan aku berangkat bekerja. Suami dan anak sulungku tidak bersama kami. Suamiku bekerja di luar kota seminggu sekali baru pulang. Sedangkan si sulung bersekolah di pondok pesantren yang mengharuskannya menetap di pondok. Biasanya hari Minggu kami menengok sulungku. 

“Wah sedapnya.” Seru bapak melihat masakan yang aku masak. Iga sapi kesukaan bapak. 

“Nanti kalau Bapak mau makan, dihangatkan saja yah Pak.” Kataku sambil menutup panci sop iga. Bapak mengacungkan jempolnya tanda menegerti. 

“Sambalnya bikin ga Ri?” 

“Sudah dong, sambal tomat.” Aku tahu tanpa sambal makanan apapun menurut bapak hambar. 



Seperti biasa aktivitas bapak menunggu Ray pulang di rumah saja sambil menonton televisi atau membersihkan rumah. Pekerjaan rumah yang senang dilakukan bapak adalah mencuci. Bukan mencuci baju dengan sikat kemudian membilasnya. Bukan aktivitas itu melainkan aktivitas mencuci menggunakan mesin cuci. Sambil menunggu cucian selesai dicuci, bapak akan menonton televisi. 

Ray pulang sekolah menjelang zuhur. Biasanya Ray pulang sendiri tanpa dijemput bapak, karena dekat dengan rumah. Ray berjalan kaki dengan teman sekolah yang rumahnya tepat di depan rumahku. Tapi kali ini karena tahu ada bapak ia merengek. 

“Mah, aku pulang dijemput Nek Anang yah.” 

“Kok dijemput, adek biasanya pulang dengan Ipin.” Aku memasukkan bekal Ray di tasnya. Walau sudah makan aku tetap membekali Ray makanan yang sederhana, mie goreng kesukaannya. 

“Terus,Nek Anang ngapain di rumah kalau gak jemput aku.” Ray protes sambil minum susu cokelatnya. Bibirnya kotor karena susu yang diminumnya mengotori pinggiran bibirnya. Aku ambil tisu dan membersihkan bibir Ray. Anakku ini memang sangat ceriwis. Ray dan bapak sangat kompak. Ada saja cerita bapak tentang perjuangan dan kecintaan bapak dengan pekerjaanya sebagai polisi. Pernah satu ketika ada karnaval di sekolahnya dan Ray memilih mengenakan pakaian polisi. Kata Ray waktu itu karena kelak kalau sudah besar ingin menggantikan bapakku menjadi polisi. 

“Nek Anang di rumah saja yah Dek, kasihan biar istirahat. Nanti sore antar adek les.” Penjelasan aku ini memang sungguh jitu karena sore Ray harus les dan biasanya bapak yang akan mengantar. 

Urusan les juga jadi urusan bapak ketika putri sulungku menghadapi ujian nasional. Tasha putri sulungku yang waktu itu kelas VI SD, harus bimbingan belajar setiap hari secara intensif di sebuah bimbingan belajar di dekat rumah bapak. Anak sulungku ini pendiam susah menghadapi situasi baru. Istilahnya anakku ini kurang ramah. Tasha akan susah membuka pembicaraan dengan orang. Karena bapaklah anakku ini mendapat teman banyak di tempat bimbingan belajarnya. Kok bisa yah? Pertanyaan itu yang aku tanya pada anakku ketika di suatu kesempatan menjemput Tasha. 

Tasha sedang menungguku di tempat les dengan beberapa teman lesnya dan asyik mengobrol. Aku benar-benar terkejut karena sudah beberapa kali les, Tasha selalu menyendiri. Belum ada teman yang dikenal dan mengenal anakku. 

“Yu, sekarang sudah banyak teman yah?” aku memanggil anakku Yu atau Ayu. Panggilan untuk kakak di Palembang. Bapak dan ibuku asli Palembang jadi kami membiasakan memanggil Tasha dengan Ayu Tasha agar adiknya membiasakan memanggil dengan sebutan Ayu Tasha. 

“Mamah mau tahu kenapa?” jawaban anakku ini membuatku melambatkan motor yang aku kendarai agar bisa mendengar cerita Tasha. 

“Ada ceritanya yah?” tanyaku. Aku lihat dari kaca spion, Tasha yang masih sibuk dengan permen lolipop di mulutnya tersenyum menggodaku. 

“Nanti yah Mah di rumah biar Nek Endut juga dengar.” Tasha ingin neneknya atau ibuku yang biasa dipanggil Nek Endut mendengar ceritanya. 

Mamaku bukan bernama “Endut” akan tetapi karena bentuk tubuh mamaku yang gemuk membuat cucu-cucunya memanggilnya Nek Endut. Kalau anakku sudah berkata seperti itu pastinya tidak mau diganggu dari aktivitas lolipopnya. 

“Ayu, katanya mau cerita.” Aku menagih janji anakku. 

“Idih kok mamah jadi kepo sih.” Ada-ada saja istilah Tasha. 

“Siapa sih si Kepo.” Kugoda Tasha. 

“Nek Endut!” Tasha memeluk mamaku yang dijumpainya di teras. Kalau sudah seperti ini bapak pasti akan menarik rambut Tasha dan merengek minta dipeluk juga. Aku mengambil tas les Tasha. 

“Nah ini dia si tukang cerita.” Tasha menunjuk bapakku yang sudah siap membentangkan tangan minta dipeluk. Tasha menggoda bapakku yang malah erat memeluk neneknya. Bapakku makin berekspresi sedih. Bapak duduk tanda protes tak dipeluk Tasha. 

“Nek Endut tahu gak, teman les aku tuh lebih banyak kenal Nek Anang daripada kenal sama aku.” Tasha memulai ceritanya. 

“Kok bisa?” tanya mamaku sambil melepaskan pelukan Tasha dan mengajak Tasha duduk di kursi teras. 

“Gini loh Nek, jadi kalau Nek Anang dapat tugas jemput aku, nah dia selalu datang lebih cepat dari jadwal pulang les aku.” 

“Terus apa hubungannya nih?” aku penasaran dengan cerita Tasha. Bapak kok dilibatkan. Memang biasanya bapak menggantikan aku menjemput Tasha di tempat lesnya. 

“Iya apa hubungan Nek Anang dengan les Tasha.” Kali ini mamaku ikut penasaran. 

“Yah ada hubungannya Nek. Jadi semua teman les ku yang sekelas maupun yang gak sekelas selalu diajak ngobrol sama Nek Anang. Cerita Tasha semakin seru. 

“Lalu apa masalahnya.” Kali ini bapak yang bertanya. 

“Tidak ada masalah sih, malah aku beruntung Mah, gara-gara Nek Anang semua teman tanya gini. Tasha itu kakek kamu yah? Terus aku jawab iya kenapa? Kata teman-temanku kakek kamu lucu yah.” Ucap Tasha sambil memeluk bapak. 

Rupanya karena bapak yang selalu mengajak ngobrol dan suka bercerita, akhirnya teman-teman Tasha terhibur dengan cerita bapak. Imbasnya semua teman les Tasha jadi ikut mengenal Tasha. Karena menurut cerita teman Tasha, bapakku sebelum dan sehabis cerita selalu berkata.”Kakek punya cerita nih, sebelum cucu kakek Tasha keluar kelas.” Atau “Nah Tasha cucu kakek sudah mau keluar kelas, cerita diakhiri yah.” 

Bisa kebayang itulah yang membuat semua siswa les di bimbingan belajar itu jadi mengenal Tasha, awalnya dari nama akhirnya mengenal karena kakek pulang membonceng Tasha. 

“Dah kakek, dah Tasha. Besok cerita lagi yah.” Tuh teman-temanku selalu begitu kalau aku pulang dibonceng Nek Anang. Pelukan Tasha semakin erat ke bapakku. 

Aku lihat mata mamaku yang memerah. Ada kristal bening di ujung mata mamaku. Suaminya yang sering diajak berdebat dengan kebiasaan mendidik cucu ternyata bisa membuat cucunya memiliki teman dan tidak dijauhkan dari pergaulan.. 

Kali ini giliran Ray yang diantar jemput bapak les, bahkan kali ini supaya tidak mondar-mandir selama dua jam Ray les, bapak menunggu di tempat les. Kasihan kalau bapak harus mondar-mandir pulang terus datang lagi untuk menjemput. Bapak senang dengan aktivitas ini. Kata bapak bisa ikut belajar dengan guru-guru les Ray. Rupanya bapak selalu banyak bertanya dengan semua guru les Ray. Pastinya anakku juga ikut dikenal, kali ini dengan semua guru les. Hahahahahaha. 

“Ri, pulang cepatt!” suara bapak di ujung telepon terdengar marah. Sudah empat hari bapak di rumah. Hari ini kamis yang tentu saja aku ingat. Karena peristiwa ini mengubah semua cerita dengan bapak. 

“Ada apa pak?” 

“Pulang ajalah ga usah tanya.” Kali ini nada bicara bapak semakin dalam. Aku benar-benar bingung. Bapak tak pernah marah seperti ini dan menyembunyikan berita. 

“Iya Pak, Nuri ijin dulu yah.” Aku minta ijin dengan guru piket dan meninggalkan tugas untuk kelas yang kutinggalkan. Bapak pasti mempunyai alasan menyuruhku pulang. 

Sampai di rumah ada beberapa orang berpakaian seperti petugas bank duduk di ruang tamu. Bapak juga duduk di ruang tamu tapi wajah bapak terlihat tegang. Tangan bapak terkepal menahan amarah. 

Aduh ada apa ini. Kok jadi terlihat tegang. Aku merutuk dalam hati. Kusandarkan motor dan ikut duduk di samping bapak. 

“Ada apa pak?” tanyaku pada seorang petugas. 

“Begini Bu, kami dari...” belum sempat petugas itu berkata bapak berdiri dan mengambil jaket yang biasa dikenakan jika ingin menjemput anakku les. Padahal hari ini Ray tidak les, jadi mau kemana bapak? 

“Bapak mau kemana?” tanyaku menatap bapak. “Nuri gak tahu ini ada apa.” 

“Masa kamu gak tahu Nuri! Malu-maluin aja, kalau gak bisa bayar jangan utang!”. Suara bapak seperti petir di siang bolong di telingaku. 

“Loh, siapa yang utang Pak.” Kali ini aku berdiri menghampiri bapak yang bersiap pergi dengan motor yang biasa dipakai untuk mengantar Ray. 

Melihat keadaan itu membuatku jadi mengesampingkan tamu yang ada di hadapanku. 

“Maaf, bapak-bapak ini siapa dan ada keperluan apa?” 

“Kami dari petugas bank, Bu.” Seru seorang petuags. 

“Iya petugas bank yang hari ini mau menyegel rumah kamu!” kali ini kalimat bapak benar-benar menghantam jantungku. Kulihat juga bapak duduk di teras sambil mendekap dadanya. Aku hampiri bapak untuk memintanya pindah ke ruang tamu. Tapi bapak tidak mau dan menyuruhku kembali ke ruang tamu. 

“Kami mau menagih tunggakan rumah ibu yang belum dibayar selama lima bulan. Pada tunggakan ketiga kami sudah memberikan surat teguran.” Petugas itu menyodorkan surat penagihan dan surat penyegelan rumah. 

Aku benar-benar syok mendengar penjelasan petugas bank. Aku membaca surat penagihan dan surat penyegelan. Aku mengkhawatirkan bapak yang masih duduk di teras. 

“Apa tidak ada penyelesaian lain Pak?” tanyaku berharap ada jalan keluar selain penyegelan. 

“Ada Bu.” Jawaban itu membuat aku agak lega. 

“Bagaimana caranya Pak?” tanyaku lagi 

“Ibu lunasi tunggakan di bank dalam tempo seminggu agar tidak disegel. Untuk itu ibu hubungi pihak bank besok untuk memohon penyelesaian.” Penjelasan petugas itu sudah membuat lega hatiku. 

Aku benar-benar tidak menyangka. Suamiku menggadaikan rumah kami untuk bisnis bersama adiknya. Rencana mereka cicilan kredit ditanggung berdua. Ternyata bisnis mereka mengalami kemerosotan bahkan bangkrut. Uang menjalankan bisnis ini dari patungan suamiku dan adiknya. Suamiku yang seorang karyawan pastinya tidak punya uang yang banyak untuk bisnis. Uang pinjaman dari bank dengan mengagunkan sertifikat rumah terpaksa ia lakukan dan tanpa sepengetahuanku. Hatiku benar-benar sedih, kok tidak memperthitungkan akibat yang ditimbulkan. Untungnya Ray sedang pergi mengaji di mushola jadi tidak menyaksikan insiden ini. 

Rupanya sudah lima bulan ini mereka tidak mencicil pinjaman tersebut. Penagihan melalui telepon sudah dilakukan tapi menurut pihak bank suamiku dan adikknya tidak bisa dihubungi. Sesuai perjanjian dengan bank, bila dalam tempo lima bulan menunggak maka bank berhak menyita aset sesuai agunan dari pihak peminjam. Apapun alasannya suamiku sudah membuat bapak menjadi seperti ini. 

Urusan dengan pihak bank dapat aku atasi dengan kembali meminjam di bank ibaratnya gali lobang tutup lobang. Namun akibat dari peristiwa itu bapak harus masuk rumah sakit karena penyakit jantungnya. Aku benar-benar sedih, selain terluka hatiku karena suamiku menggadaikan satu-satunya harta kami yang berharga juga akulah penyebab bapak sakit. Semenjak itu berulang kali bapak keluar masuk rumah sakit dengan penyakit yang sama yaitu jantung. Beberapa rumah sakit sudah menjadi langganan bapak hingga suatu ketika bapak harus masuk ICU. Rumah sakit pertama yang jadi rumah sakit untuk pertolongan pertama bapak menyarankan ke rumah sakit jantung nasional. Selain itu rumah sakit ini menerima asuransi yang dimiliki bapak. 

Bapak memang tak menyusahkan kami anak-anaknya bila masuk rumah sakit. Bapak punya asuransi sehingga tagihan pengobatan bapak dapat dibayar dari asuransi tersebut. Namun demikian tetap saja jadi pikiranku dan adik-adik. Aku merasa bapak pasti memikirkan aku dan anak-anakku dengan utang yang suamiku buat. Aku sudah katakan pada bapak kalau kami bisa hidup walau dengan sedikit penghasilan yang kami punya. 

Anakku Ray dekat sekali dengan kakeknya. Ray selalu menemani bapak di rumah sakit sepulang sekolah. Sesekali bergantian dengan keponakanku yang lain. Ray selalu datang dengan cerita-cerita yang lucu juga cerita yang membesarkan hati bapak tentang cita-cita menjadi polisi pengganti bapak. 

Sejak saat itu penilaian bapak terhadap suamiku berbeda. Bahkan cerita dan sikap kepada ayah anak-anakku semakin menjaga jarak. Bagi bapak kesalahan itu merupakan kesalahan yang cukup memalukan. Untungnya sikap bapak dan tabiat bapak tetap sama ceria. Bapak sering menggoda suster kalau dirasa hatinya senang. Namun, aktivitas bapak sudah tak sama harus dibatasi, itu menurut dokter. Jantung bapak tidak boleh dipaksa untuk bekerja ekstra terutama berbicara banyak. Padahal bapak senang sekali bercerita. 

Bapak harus pasang ring di jantungnya upaya pencegahan mengurangi penyumbatan di jantungnya. 

Aku memang sangat menyesal dengan apa yang terjadi. Seandainya si Mbak tidak pulang tentu bukan bapak yang mendengar berita rumahku yang tergadai dan jantung bapak akan baik-baik saja. Aku tahu semua ini memang harus terjadi sebagai pelajaran berharga buat kami agar hati-hati melangkah. 



Kemana Bapak? 

BAB V 



Pagi itu aku masih di sekolah dan sedang menjalani tugas sebagai pengajar ketika suara mama di telepon membuatku tersentak. 

“Ri, dimana?” suara mama terdengar lirih di telepon. 

“Nuri di sekolah, Ma ada apa? Tanyaku. 

“Bapak pergi.” kata mama. 

Dua kata yang mampu membuatku tersentak. Pasti ada yang terjadi yang menyebabkan bapak pergi. Sudah seminggu ini memang suasana memanas di rumah mama. Penyebabnya apalagi kalau bukan gara-gara pengasuhan cucunya yang berbeda. 

Keponakanku Rendi dan Fajar anak kakakku Susi, semenjak kecil tinggal dengan orangtuaku. Hanya waktu Rendi yang bermasalah ketika bersekolah di SMK harus menyingkir ke rumah ibunya di Cikampek. Rendi adalah cucu kedua orangtuaku dan anak kedua kakakku. Ayahnya meninggalkan kakakku sewaktu Rendi berusia dua bulan. Kejadian itu menyebabkan kakakku harus bercerai. Sebenarnya gara-gara yang sangat sepele saja. Cerita bapak padaku kalau suami kakakku yang bekerja di perusahaan tempat bapak juga bekerja menjadi koordinator demo buruh. Waktu itu bapak setelah pensiun bekerja kembali menjadi kepala personalia. Bapak menyampaikan kebijakan pimpinan perusahaan pada buruh di pabrik. Rupanya para buruh dikomandoi suami kakakku melakukan unjuk rasa terusik menerima kebijakan itu. Tentu saja bapak tidak terima dengan perbuatan menantunya ini apalagi suami kakakku ini bekerja karena bapak yang memasukkannya di pabrik itu. Bapak dan kakak iparku itu bertengkar hebat. Kakak iparku mengancam akan meninggalkan kakakku. Tentu saja bapak semakin berang. Bapak mengusir kakak iparku dari pabrik dan dari rumah. Kata bapak silakan pergi bawa istri dan anak-anaknya dan hidup dengan usaha kamu sendiri. Maksud perkataan bapak yang tegas itu ingin menekankan bahwa kakak iparku harus membawa istri dan anaknya dan berusaha mencari pekerjaan sendiri. Selama ini yang aku tahu walaupun sudah berumah tangga, kakak iparku selalu bergantung dengan orangtuaku. Pekerjaan dicarikan bapak. Bagus juga sebenarnya biar kakak iparku itu berusaha sendiri jangan tergantung orang. 

Maksud bapak ditanggapi berbeda oleh kakak iparku. Hari itu kakak iparku pergi dan meninggalkan istri serta kedua anaknya. Kakakku yang baru melahirkan anak keduanya dua bulan yang lalu yaitu Rendi tentu saja tidak mau berspekulasi ikut dengan suaminya yang tidak memiliki pekerjaan. Selain kondisi tubuhnya yang belum sehat pasca melahirkan juga karena mamaku menangis sambil mengendong Rendi agar kakakku tinggal tidak usah ikut suaminya. 

“Sus, jangan ikut yah kasihan anak-anak mau makan apa kalau bapaknya tidak bekerja. Lihat Rendi dan Fajar masih butuh susu darimana nanti beli semua keperluan anak kamu. Disini semua keperluan kamu dan anak kamu disediakan bapak.” Kata mama membujuk kakakku yang juga bingung memutuskan jalan hidup yang akan dia lalui. Waktu itu aku belum mengerti, aku belum berumah tangga. Aku sayang dengan kedua keponakanku yang wajahnya mewarisi wajah keluarga kami berkulit putih dan tampan. 

“Susi bingung Ma, ikut suami terancam gak makan, ikut dengan Bapak dan Mama di sini berarti Susi durhaka sama suami.” Tangis kakakku pecah saat itu. 

Akhirnya keputusan terbaik yang diambil kakakku adalah tinggal bersama orangtuaku. Keputusan yang membuat lega bapak dan mama juga kami adik-adiknya. Tak bisa kami bayangkan bagaimana kehidupan kakakku bersama anak-anaknya jika pergi bersama suaminya. Bisa saja kehidupan mereka baik atau malah terlantar hanya Tuhan yang tahu garis hidup seseorang. 

Semenjak ditinggal suaminya kakakku mengasuh kedua anaknya dibantu mama. Ketika kedua anaknya besar dan dapat ditinggal Susi bekerja di sebuah perusahaan kosmetik di Jakarta juga. Kabar yang kami dengar suami Susi atau ayah Fajar dan Rendi sudah menikah lagi di Bogor. Kata bapak sudah bukan urusan kita lagi. Toh kedua anaknya tidak pernah sepeserpun menerima uang dari bapaknya. Kakakku sendiri sudah menikah lagi dengan seorang pemuda yang mau menerimanya sebagai seorang janda dengan dua anak kemudian tinggal di Cikampek. Kata kakakku meninggalkan cerita masa lalu di Jakarta dan membuka lembaran baru di Cikampek 

Bapakku memang keras dalam mendidik anak dan cucunya. Sholat lima waktu dan tepat waktu selalu diajarkan oleh bapak. Hal ini berkali-kali ditekankan bapak karena anak-anak dan cucunya selalu malas mengerjakan yang lima waktu. Apalagi kakakku Susi entah apa yang ada dipikirannya untuk melaksanakan perintah Yang Maha Kuasa saja susah sekali. Padahal dari kecil bapak dan mama selalu mengajarkan keutamaan menjalankan perintah-Nya. 

Sifat dan karakter Rendi memang berbeda dengan semua cucu orangtuaku. Rendi jarang bergaul dan berkumpul dengan semua saudara-saudaranya. Bahkan dengan kakaknya saja Fajar kurang akur. Ada saja yang jadi pertengkaran 

“Bapak kemana Ma.” Tanyaku pagi itu, aku ijin ke rumah mama. Persoalan ini semakin ruwet kalau bapak sampai pergi. 

“Kalau mama tahu gak telepon Nuri.” Wajah mama tertunduk sedih. Aku tahu mama menyesal atas kepergian bapak. 

“Maksud Nuri, bapak pergi pasti ada sebabnya kan?” kataku lagi. Sebenarnya aku sudah tahu pasti karena ulah Rendi bapak pergi. 

“Mama hanya bilang, bapak kalau marah-marah jangan terus saja menyalahkan Rendi.” Mulailah mama bercerita asal mula bapak sampai pergi meninggalkan rumah. Benar saja tebakanku ini semua karena Rendi. Sudah satu minggu ini Rendi selalu pulang malam bahkan sampai pagi. Semua nasihat bapak tidak mempan. Bahkan kakaknya Fajar yang menegurnya diajak bertengkar dan sampai melakukan kekerasan fisik. Hari itu rupanya puncak kekesalan bapak karena Rendi pulang pagi. Tidak itu saja pintu rumah tidak dikuncinya. Amarah bapak tidak sampai disitu saja Rendi yang dimarahi malah melawan. Hampir saja melayang tangan bapak sebelum mama melerai. 

“Sudah sih pak, marah terus tidak bisa apa bicara baik-baik dengan Rendi. Sudah tua juga masih saja senang marah.” Kata mama 

“Kamu tahu apa, ini rumah saya, harus tahu aturan yang saya terapkan. Selama ini sudah sering saya nasihati, lihat mana didengar dengan cucu kesayanganmu itu, belum juga punya rumah sendiri masih menumpang seenaknya!” suara bapak memecahkan suasana yang semakin memanas. 

Mama yang mendengar kata-kata bapak menjadi berang. Mama menganggap bapak menyindir mama yang juga ikut menumpang di rumah itu. Perkataan bapak ini membuat suasana hati mama yang tadinya sudah sedih semakin menjadi-jadi. Keluarlah kata-kata yang semestinya tidak dikeluarkan mama. 

“Aku memang hanya lulusan SD tidak sekolah hanya menumpang gak bisa cari uang hanya bisa menghabiskan uang suami.” Mama membanting pintu kamar dan menangis di kamar. Bapak yang melihat kelakuan mama dan merasa tidak ada kata-kata yang salah menjadi kesal bukan main. 

“Oh semua orang di rumah ini sudah berani melawan saya yah, mentang-mentang saya sudah pensiun tidak ada lagi yang menghargai saya.” Bapak semakin marah. 

Cerita selanjutnya sudah bisa diterka. Bapak pergi membawa tas kecil yang selalu ia bawa kalau menginap di rumahku. Bapak pergi tanpa memberitahu mama hendak kemana ia. Iyalah kalau bilang-bilang mama pasti tidak khawatir seperti sekarang. 

“Mama kan hanya bilang seperti itu Nuri. Memang mama menumpang kok selama ini.” Suara mama tercekat memendam tangis. 

“Iya, Ma tapi tidak usahlah mama mengeluarkan kata-kata seperti itu. Suasana hati bapak sedang tidak bagus.” Kataku lagi. 

“Jadi Nuri juga menyalahkan mama, Nuri pikir selama ini mama hanya menumpang saja. Darimana uang buat kalian kuliah kalau bukan mama jualan nasi di warung. Mama juga tahu diri biarpun hanya tamatan SD.” 

Waduh kok malah melebar kemana-mana sih. Aku dan adik-adikku memang terbantu dengan usaha warung nasi mama. Kami menghargai mama yang sudah berjuang untuk kami agar bisa mendapat pendidikan yang layak. Kata mama kalau mengandalkan gaji dari bapak tidak cukup. Rutinitas mama selama berjualan luar biasa hebatnya. Pukul 3 pagi aktivitas mama sudah dimulai. Mama sudah ke pasar untuk berbelanja keperluan warung nasi. Pulang ke rumah waktu subuh dan mulailah memasak semua makanan siap saji yang akan dijual di warung nasi. 

“Mama yang baik,Nuri tidak menyalahkan mama. Nuri hanya menyayangkan gara-gara perkataan itu saja bapak dan mama sampai bertengkar. Satu lagi ini gara-gara Rendi jugakan?” 

Mama hanya terdiam saja kali ini, mama benar-benar menangis. Aku tak tahu mama menangis karena bapak pergi atau karena kata-kataku yang mengena yah? 

“Mama tahu mama salah, tapi harusnya bapak jangan bilang begitu dong. MENUMPANG, Rendi juga gak tahu diri sudah MENUMPANG masih melawan terus.” Mamaku menangis. Kalau sudah begini jangan harap kita memberikan pendapat atau ikut bicara masalah ini. Seperti yang sudah-sudah apapun perkataan anak-anaknya mama tidak akan mau disalahkan. Padahal aku dan adikku tidak menyalahkan hanya ingin meluruskan bahwa penyelesaian masalah ini disikapi dengan kepala dingin. 

“Awan, cepat ke rumah bapak yah.” Kutelepon adik bungsuku yang tinggal di daerah lain tapi masih di Jakarta. Semenjak menikah Awan tinggal di rumah orangtua istrinya. Istri Awan adalah anak bungsu dan kedua kakaknya sudah menikah dan tinggal di rumah masing-masing sehingga rumah orangtua istri Awan tidak ada yang mendiami. Orangtua istri awan sendiri sudah lama meninggal dunia. 

“Ada apa sih?” tanya Awan, 

“Sudah ke rumah dulu kita bicarakan untuk cari bapak.” Jawabku yang tentu saja membuat Awan bingung. 

“Bapak kenapa kok dicari? Bapak hilang?” pertanyaan Awan kusambut dengan menutup telepon. 

Kemana yah bapak? Semua tempat yang biasa disinggahi bapak dan orang-orang yang mungkin akan bapak datangi sudah aku telepon. Semua menjawab kalau bapak tidak ada di rumah mereka. Kakakku yang di Cikampek, adik sepupu bapak yang di Halim, keponakan bapak di Depok sudah aku telepon. Aku belum mendatangi kediaman mereka sih hanya melalui telepon, masa mereka akan membohongiku. Apalagi aku katakan pada mereka kalau mama menangis terus memikirkan bapak. Padahal mama menangis karena mengingat perkataan bapak yang menyakiti hatinya. Hanya satu kata sih “menumpang” dan aku sudah bilang pada mama bahwa kata tersebut untuk Rendi. Eh malah aku dituduh mama membela bapak dan tidak berempati pada mama. 

Hari itu mama ditemani Awan dan istrinya di rumah. Rendi sendiri tidak pulang ke rumah. Kelakuannya memang membuat jengkel seisi rumah. Adikku mencari keberadaan Rendi yang ternyata malah menikmati hari-harinya di sebuah warnet. Rendi tidak tahu akibat perbuatannya berimbas pada kakeknya yang sudah dua hari ini belum pulang. Mama diam saja tak banyak bicara bahkan makan pun tidak banyak. Aku dan adik-adikku khawatir dengan bapak juga mama. Susahnya menjaga perasaan orangtua. 

Sore itu ketika aku masih mengajar di kelas ponselku berbunyi. Nomor telepon yang tidak ada di daftar kontakku. Mulanya aku tak mau mengangkat takut telepon yang salah sambung. Untung keinginan itu mengalahkan keingitahuanku, siapa tahu dari bapak atau orang yang menolong bapak. 

“Hallo dengan siapa ini?” tanyaku. Terdengar suara orang berdebat di telepon dan suara itu sangat aku kenal. 

“Ini Nuri yah?” ujar suara di telepon. 

“Iya ini dengan siapa? Tanyaku dengan harap-harap cemas. 

“Ini Kak Dadi, Ri.” Jawab suara di seberang telepon. Dadi adalah kakak sepupuku. Ayahnya kakak pertama bapakku. Kak Dadi tinggal di Tangerang dan aku tidak tahu tepatnya di daerah mana rumah kak Dadi. 

Kami jarang berhubungan dengan Kak Dadi. Aku memang mendengar kalau Kak Dadi yang sewaktu muda dulu tinggal bersama kami sekarang sudah menetap di Tangerang dan menjadi supir ojek. Bapak sudah beberapa kali mengajakku silaturahmi ke rumah Kak Dadi, tapi itulah ada saja kesibukanku yang melanda. 

“Ada apa kak, tumben menelepon?”tanyaku. Aku berharap ada berita gembira yang akan disampaikan Kak Dadi. 

“Bapak ada di rumah saya sudah dua hari.” Tak sadar aku menjerit gembira dan mengucap syukur karena keberadaan bapak sudah jelas ada dimana. 

“Terus sekarang bapak ada di dekat Kak Dadi kan?” aku tak sabar ingin mendengar suara bapak karena aku tahu tadi itu suara bapak di dekat Kak Dadi. Aku ingin bicara dengan bapak menanyakan kabar dan kesehatannya. 

“Ri.” Suara bapak memanggilku singkat. Walaupun singkat rasanya panggilan bapak sudah membuatku melayang terbang gembira sekali. Bapak sehat! 

“Bapak!” seruku segera. “Bapak sehat, bagaimana keadaan Bapak? Sedang apa Bapak sekarang? Sudah makan belum?” pertanyaanku berbondong-bondong keluar. 

“Walah Ri, tanya kok borongan hahahahaha.” Suara tawa bapak yang sudah dua hari hilang terdengar merdu sekali. Tawa yang sungguh sangat kurindukan, kalau ingat bapak tertawa sambil memamerkan gigi depannya yang sudah tanggal. Belum lagi alisnya yang hampir memutih naik turun. Alis bapak sama dengan alisku tebal kata orang seperti semut beriring. 

Banyak cerita bapak di telepon sore itu. Bapak menanyakan rumah, menanyakan mama dan tentu saja menanyakan semua cucunya. Aku dapat membayangkan kerinduan bapak karena berpisah dengan semua cucunya walaupun baru dua hari. 

“Ternyata bapak kalah yah Ri.” Kata bapak lagi. 

“Kalah kenapa Pak?” tanyaku bingung 

“Bapak gak bisa pisah dengan kalian terutama semua cucu bapak. Hidup bapak itu semangat, sehat, dan bahagia kalau kumpul dengan kalian.” Kata-kata bapak membuatku tak terasa meneteskan air mata. Peristiwa itu terlihat oleh anak muridku di kelas. Yah aku masih mengajar di kelas ketika Kak dadi menelepon. 

“Bapak gak kalah Pak, di sini gak ada yang menang atau kalah.” Kataku sambil menyeka air mata. 

Aku habiskan obrolanku dengan bapak dan permintaan bapak agar aku tak mengatakan pada mama kalau bapak ada di rumah Kak Dadi. Besok pagi bapak minta dijemput dan menjadi kejutan terindah buat mama. Aku pesan pada bapak agar tidak lagi bertengkar dengan mama untuk hal-hal sepele yang bisa diselesaikan bersama. 

Kepergian bapak dua hari sudah menimbulkan luka di hati bapak dan tentu saja mama. Aku tahu banyak yang belum aku berikan pada mereka berdua. Kasih sayang tulus yang dilimpahkan mereka untuk merawatku kemudian merawat cucu-cucunya merupakan harga yang tak ternilai. 

Pagi itu aku ijin tidak mengajar dan menjemput bapak di rumah Kak Dadi. Rupanya di rumah Kak Dadi sudah membuat bapak menyadari kesalahannya dan kerinduannya pada kami. Pagi itu masih sepi. Jalanan belum banyak lalu lalang kendaraan. Aku bersama Ray menjemput bapak. Semalaman Ray tidak bisa tidur memikirkan pertemuan hari ini dengan bapak. Kata Ray sepi tidak ada Nek Anang. Walau bapak sering marah, tapi cerita-cerita bapak mampu membangkitkan kerinduan terhadap sosok seorang kapten polisi yang ramah. Aku sudah mengemudikan mobil selama dua jam untuk sampai ke rumah Kak Dadi. Aku sudah membayangkan pelukan hangat bapak jika aku tiba nanti di rumah Kak Dadi. Untungnya jalan yang kami lalui masih sepi belum banyak lalu lalang kendaraan. Alamat dan rute yang harus aku lewati benar-benar jelas dan dapat menuntun mobilku kesana. 

“Gimana sih, lama amat kalau bangun jangan kesiangan jadi habis sholat subuh bisa langsung jalan. Kalau sudah siang begini lihat panas, belum lagi macet.” 

“Bapakkkkk!” 

Bukan pelukan yang kuterima tapiiiiiiiiiiiiii ceramah bapak! 



Pulang Kampung 

BAB VI 


Ruangan serba putih itu dengan tirai hijaunya adalah tempat keluargaku berkumpul. Pendingin ruangan yang mampu menghalau bakteri, tak mampu menghalau resah dan risau dari kerut wajah mama dan keluargaku. Siang itu pakaian yang dikenakan bapak juga hijau, sama dengan penghuni kamar lainnya. Bapak sudah tiga hari menempati ruangan kecil itu sendiri hanya ditemani alata-alat yang menempel di tubuhnya. Rasanya sedih melihat bapak hanya berteman dengan semua alat itu. 

“Nuri, lebaran nanti kita pulang kampung yah.” Suara bapak pelan namun terasa jelas sekali di telingaku. 

Kupandangi semua peralatan medis yang menempel di tubuh bapak. Lebaran memang masih lama masih satu bulan lagi. Puasa Ramadhan saja belum kami jalani. Sebenarnya bukan masalah pulang kampung. Bapak masih terbaring lemah di ruangan kecil itu yang orang-orang menyebutnya ICCU. Ruangan ini setingkat lebih rendah dari ICU atau lebih mengkhawatirkan kalau bapak harus ditangani di ICU. Pasien yang menenpati kamar ini memiliki tingkat penyakit yang cukup mengkhawatirkan bukan lebih mengkhawatirkan. Ibarat hotel kamar bapak bintang empat belum semahal bintang lima dan bapak ada di ruang itu sudah tiga hari. 

“Iya Pak, sekarang Bapak harus semangat, Bapak harus sembuh dulu yah.” Aku tak bisa menjanjikan apakah bapak akan bisa sampai kampung halamannya atau tidak dengan kondisi seperti ini. Aku lihat mama ingin protes dengan perkataan bapak. Aku kedipkan mata sebagai tanda bukan saatnya Ma. 

“Harusnya tadi Nuri bilang, memang jantungnya bisa diajak jalan jauh. Jangan suka menjanjikan bapak gak bisa dijanjikan, kayak gak tahu bapaknya aja.” Sepanjang jalan pulang dari rumah sakit mamaku mengerutu. Mama benar, jantung bapak akan digunakan untuk melakukan kerja yang hebat. Perjalanan jauh, euforia bertemu kerabat yang tentunya dilanjutkan dengan bincang-bincang hangat yang tak pernah putus hal itu akan memaksa kerja jantung bapak. 

Kampung halaman bapak terletak di sebuah dusun kecil di kabupaten Lahat Sumatera Selatan. Transportasi ke kampung agak sulit kalau musim penghujan. Jalan yang harus dilalui masih tanah liat yang dapat membolak-balik roda motor maupun mobil. Transportasi lain adalah perahu motor yang biasa digunakan oleh warga dusun untuk beraktivitas ke kota membawa hasil kebun. Perahu motor ini praktis selain waktu tempuh yang cepat juga akses ke dusun mudah ditempuh. 

Seperti kebanyakan kampung –kampung di Sumatera Selatan, rumah nenekku berada di salah satu anak Sungai Musi. Zaman dahulu nenek moyang kami memperhitungkan pemilihan pendirian kampung dengan saksama. Kata bapak selain memudahkan transportasi melalui sungai juga kebutuhan akan air dapat terpenuhi dibandingkan kalau mereka harus menggali sumur. Sunggai tidak pernah kering selalu ada airnya. Tapi itu dulu ketika hutan-hutan belum ditebang untuk pembukaan ladang-ladang para transmigran. Kini sungai di kampung bapak kering bila musim kemarau. Bahkan bisa dilalui dengan berjalan kaki di tengah sungai. Kalau sudah seperti ini biasanya warga kampung mengambil air hingga ke hulu sungai bahkan tak jarang bergotong royong menggali sumur untuk keperluan air warga satu kampung sehingga banyak sumur yang cukup dalam bertebaran di sekitar rumah warga. Sumur itu ada airnya tapi warga elbih senang melakukan aktivitas mencuci, mandi, dan buang hajat di sungai. Hal itu dilakukan karena dalamnya dasar sumur sehingga untuk menggambil air diperlukan tali panjang yang diikatkan di ember pengambil air. Waktu untuk menarik juga lama walaupun sudah dibantu dengan alat penggerek yang ada. Biasanya air yang bisa terambil juga hanya sedikit. Maka tak heran sumur-sumur warga hanya digunakan apabila musim kemarau melanda dusun. Kalau musim kemarau warga dusun hanya mandi satu kali sehari bahkan tidak mandi bisa satu hingga dua hari. Mereka akan mengalah dengan ternak dan kebutuhan lain, seperti memasak dan mencuci piring. 

Rencana bapak pulang kampung jadi isu hangat di keluarga besarku. Semua ragu selain kesehatan bapak yang utama, juga keuangan. Yah keuangan kami, anak-anak bapak yang memang belum siap. Harusnya rencana pulang kampung setelah aku menunaikan ibadah haji. Itu berarti masih dua tahun lagi kalau estimasi keberangkatanku tidak tertunda. Keinginan bapak terus menjadi perbincangan kami di sela-sela menjenguk bapak. 

“Kayaknya gak bisa deh Ri.” Kata adikku Tita hari itu kami berkumpul di rumah sakit. Hari ini berarti sudah empat hari bapak menempati ruang ICCU, dokter belum mengijinkan untuk pindah ke ruang perawatan. Kata dokter jantung bapak belum stabil. 

“Pikirkan deh, ini keinginan bapak.” Jawabku pada Tita yang meragukan keinginan bapak pulang kampung. 

“Yah, gini aja bapak sakit, sekarang aja masih di ICCU, terus mau kita paksakan bapak pulang kampung yang waktu tempuh ke sana bisa 12 jam, walaupun naik pesawat.” Tita mengemukakan alasan keberatannya. 

Aku benar-benar tidak tahu mau bilang apa. Keinginan bapak memang tidak muluk-muluk. Bahkan waktu bapak sehat dan kami ngobrol di rumah dan aku berkhayal seandainya aku punya uang maukah bapak pergi umroh bersamaku. Perbincangan itu sungguh aku ingat karena bapak tak punya keinginan lain selain pulang kampung. 

“Pak, doakan Nuri yah mau lomba nih.” Kataku pagi itu minta doa restu bapak karena aku akan mengirim tulisanku dalam lomba karya tulis. Seperti biasanya bapak akan berkata,” Kamu pasti bisa” bukan “Kamu pasti menang.” Kalimat itu selalu diulang setiap aku ikut lomba. Pernah aku tanyakan mengapa bukan “kamu pasti menang.” Jawaban bapak sungguh menusuk jantungku membuatku malu karena sudah sombong. 

“Kok, jawaban bapak pasti bisa aja sih, doakan menang dong biar kalau menang uangnya bisa buat umroh. Nanti kita umroh bareng yah Pak.” Kataku pada bapak. Hadiah lomba kali ini emmang cukup besar bisa umroh berdua. 

“Nuri, sebuah kemenangan yang dibebankan ke pundakmu, malah akan menjadi kamu lelah karena merasa yakin menang. Kamu akan berusaha sekuat tenaga tidak memperhitungkan apa saja bahkan yang logis sekalipun.” Bapak menasihatiku kala aku tanyakan kalimat itu. Menurut bapak lagi cukup, “Kamu pasti bisa” dapat memotivasi diri untuk lebih baik. Perkara menang itu bonus, kata bapak. 

Pada akhirnya aku tahu bapak mengajarkan aku agar tidak terlena dan jumawa. Bapak mengajarkanku untuk selalu tahu diri jangan memaksakan diri. Bonus dari tahu diri pastinya indah. 

“Bapak mau pulang kampung. Mekkah sudah pernah bapak lihat, cukup sekali saja. Itu kewajiban muslim biar rukun Islamnya lengkap.” Bapak menjawab dengan tersenyum. Akhirnya memang aku tak dapat mengajak bapak umroh hingga akhir hayat bapak.. 

Akhirnya rencana besar untuk pulang kampung pun aku matangkan dan rundingkan bersama kedua adikku Tita dan Awan. Kakakku Susi tidak kami libatkan. Aku dan kedua adikku tahu, kakakku Susi pastinya tidak bisa secara materi. Susi ditugaskan menjaga rumah orangtuaku selama kami pulang kampung. Bukan karena Susi tidak bisa menyumbang materi maka ia tidak kami ajak. 

“Aku gak ikut yah.” Kata Susi waktu aku utarakan keinginan bapak pulang kampung. 

“Kenapa gak ikut?” tanyaku. “Kalau biaya gak usah dipikirkan, semua tahu keadaan kak Susi.” Kataku di ujung telepon. Aku harus mengabarkan rencana pulang kampung walau kakakku ini jarang kami libatkan untuk diskusi. Susi harus tahu karena ia anak bapak dan mama juga. 

“Aku gak bisa lama-lama di mobil, ntar mabuk gimana?” jawaban Susi memang masuk akal. Selama ini Susi selalu tidak ikut acara kami. Bukan karena tak mau tapi karena badannya yang ringkih sering sakit. Susi dan anaknya Bagas dari suaminya yang sekarang selalu mabuk bila naik kendaraan. Hal berbeda justru pada anak Susi dari suami terdahulu Fajar dan Rendi yang selalu semangat pergi menggunakan kendaraan bahkan kendaraan umum juga. 

Diputuskanlah kalau bapak akan naik pesawat dan bersamaku. Mengapa bukan dengan mama? Yah, mama tidak ikut naik pesawat bukan karena bapak lebih percaya padaku untuk menjaganya bukan karena itu. Mama akan berziarah dulu di makam orangtuanya atau nenek dan kakekku. Letak makam kedua orang yang kami cintai itu ada di dusun yang tak dileati bila ke dudun bapak. Hanya bisa dilalui dengan kendaraan pribadi. Makam kedua orangtua mama ketika menyeberang dari pulau Jawa ke pulau Sumatera akan dilewati. Bila mama naik pesawat, tempat ini tidak dilewati. Bapak senang sekali dengan rembukan kami ini,. 

Berita gembira tentang rencana pulang kampung , aku sampaikan pada bapak.Suasana ruangan bapak di rumah sakit menjadi cerah. Wajah bapak berseri-seri, senyum terkulum di sudut bibirnya. Mata bapak menahan butiran kristal, aku tahu bapak tak sabar ingin pulang kampung. 

“Nuri sudah atur semuakan?” tanya bapak memastikan rencana pulang kampung nanti. 

“Pokoknya beres Kapten, siap tempur deh!” kataku sambil memeluk bapak. Ah, kebahagian terbesar yang indah hanya untuk bapak. 

Bapak sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan. Kepastian pulang kampung dapat memompa semangat bapak untuk sembuh. Jantungnya sudah stabil. Bahkan bapak sudah sering berkelakar dengan beberapa perawat yang memeriksanya. masa-masa kritisnya sudah berlalu. Berita yang menjadi trending topik di keluargaku kalau bapak sudah dipindahkan ke ruang eprwatan membawa perasaan lega. Biasanya setelah dari ruang perawatan satu atau dua hari kemudian bapak boleh pulang. Semangat untuk sembuh pada diri bapak memang luar biasa 

Mulailah aku browsing mencari tiket pesawat tentunya dengan harga yang terjangkau. Hasil rundingan dengan bapak dan mama, kami akan pulang kampung sehari setelah iedul fitri atau 2 Syawal. Bapak hanya mau naik maskapai penerbangan kepunyaan pemerintah yang kredibiltasnya teruji. Bersyukurnya dua minggu sebelum hari keberangkatan aku dapat tiket dengan harga yang masih bisa terjangkau kantongku. 

Berita tiket menjadi kabar gembira yang kembali jadi trending topik di keluargaku. Senangnya bapak ketika sepulang kerja kusodorkan tiket pulang kampung naik pesawat yang diinginkannya. 

“Pak, ini tiket sudah didapat, kita pulang kampung nih.” Aku berikan tiket pada bapak untuk disimpan sampai hari keberangakatan kami. 

“Tiket pulangnya mana?” bapak malah bertanya tiket lain. Sengaja tidak aku berikan. Kali ini aku menggoda bapak. 

“Wah kalau pulang, nanti aja yang, perjalanan ke kampung tuh jauh, masa bapak mau pulang buru-buru.” Aku tersenyum menggoda bapak. 

Wajah bapak terlihat ceria. Senangnya bisa membuat bapak melupakan penyakitnya dan bahagia seperti ini.Terbayarlah semua lelah, penat, bobol kantong. karena kocek berkurang untuk mewujudkan semua keinginan bapak (apapun untuk Bapak). Masih terbayang bagaimana bapak di ruang ICCU, malah aku berpikir tak akan bertemu bapak. . 

Menunggu waktu pulang kampung, rasanya lama sekali buat Bapak. Setiap hari Bapak menunggu sambil selalu bercerita dengan semua cucunya tentang masa kecilnya di kampung tercinta. Sepanjang Ramadhan cerita kami sekeluarga adalah "PULKAM". 

****** 

“Nanti Bang kalau di kampung nek anang, ada sungai, namanya Sungai Pangi.” Bapak terlihat asyik bercerita dengan anakku Naldi. 

“Airnya jernih ga Nang?” tanya anakku. 

Rasa penasarannya tentang sungai yang mengaliri dan menghidupi warga dusun kakeknya. Aku sendiri mengenal dari dekat Sungai Pangi atau melihat Sungai Pangi baru satu kali itupun sudah lama sekali. Waktu itu aku masih berusia 12 tahun. Bapak mengajak kami pulang kampung. Ketika pulang kampung itulah, aku mandi di Sungai Pangi. Dulu airnya jernih hingga dasar sungai terlihat jelas. Sungai itu berarus deras hanya di tepi sungai airnya melambat karena warga menahannya dengan beberapa batang kayu dan ada gundukan pasir yang menahan laju sungai. 

“Wah air di Sungai Pangi deras dan jernih.” Jawab bapakku dengan mata berbinar. Aku yakin pikiran bapak sudah sampai ke dusun, ke kampung halamannya yang mengalir Sungai Pangi. 

“Boleh mandi Nang?” tanya anakku lagi. 

“Bolehlah, kalau gak boleh orang dusun mandi, mencuci, dan buang hajat dimana?” jawaban bapakku membuat anakku terkejut. 

“Buang hajat? Kok boleh?” anakku rupanya penasaan bagaimana warga dusun memanfaatkan begitu banyak aktivitas di Sungai Pangi. 

“Bolehlah, bahkan orang dusun yang punya kerbau, yah memandikan kerbau di sungai juga.” Penjelasan bapak membuat anakku bergidik jijik. 

“Ah, gak mau mandi di sungai kalau ada yang buang hajat.” Kata anakku sambil memeluk kakeknya. Suasana seperti ini membuat rindu bila masa itu tiba. Ah, aku tak mau mengandaikan. Kemarin saja beberapa kali bapak anfal dan harus berhari-hari menginap di rumah sakit. Kami sudah pasrah apalagi melihat semua alat terpasang di badan bapak. Mama, aku, dan semua saudaraku sudah mengikhlaskan, tapi takdir Allah belum waktunya menjemput bapak. Setelah berjuang dengan maut, bapak sehat kembali. 

Akhirnya penantian panjang pun usai sudah. Hari pertama lebaran Iedul Fitri, rombongan pertama yang menggunakan dua mobil berangkat hari itu pagi itu seusai sholat Ied dan bermaaf-maafan dengan tetangga. Mobil pertama adalah mobilku, dan mobil kedua adikku Tita. 

“Anak-anak di mobil Tita yah. “ adikku sudah mengomandoi pembagian anggota rombongan. 

“Ada fasilitas apa di mobil Tita?” kata anakku Naldi. 

“Pokoknya maknyosss deh banyak makanan tuh.” Adikku memengaruhi anakku Naldi yang sudah bersiap naik ke mobilku. 

Akhirnya pembagian anggota rombongan dapat diselesaikan dengan iming-iming makanan dan fasilitas. Adikku Tita memang pintar bernegosiasi. Suasana heboh meramaikan keberangkatan keluargaku untuk pulang kampung. Bagi warga di tempat tinggal mama, peristiwa pulang kampung keluargaku memang luar basa, mengingat kondisi bapak yang belakangan ini mengkhawatirkan. 

“Nek, semoga lancar yah.” Kata tetangga sebelah rumah Mama Shopi. Tetangga ini akan menjadi tempat penitipan rumah selama kami sekeluarga pulang kampung. 

“Iya Mama Shopi tolong titip rumah dan Rendi yah.” Kata mama. Yah Rendi tidak ikut dalam rombongan. Rendi tidak mendapat cuti panjang untuk libur ke kampung. Rumahku dan rumah adikku Tita dijaga oleh kakakku Susi. Susi tidur di rumahku tidak di rumah Tita. Tidak masalah karena rumah Tita ada di sebelah rumahku. 

“Ma, hati-hati yah. Salam buat semua, kalau Susi gak mabuk kendaraan dan sakit, mau rasanya ikut kalian pulang kampung.” Kakakku Susi meneteskan airmata. Hanya Susi dan anaknya Bagas yang tidak ikut dalam rombongan. 

“Ayo, nangis biar direkam deh.” Kata anakku Tasha. Hari itu Tasha mengabadikan momen pulang kampung dengan kamera. Melihat apa yang dilakukan Tasha, kakakku makin menangis dan baisanya makin lebay kata orang sih. Kalau sudah begini , bapak pasti akan membentak Susi untuk diam. 

Bapak memimpin doa sebelum keberangkatan rombongan pulkam. Tinggallah aku dan Bapak di rumah karena kami akan berangkat besok menggunakan pesawat. 

“Pak, Nuri mau ambil pesanan kue dulu yah.” Kataku pada bapak. Untuk oleh-oleh, aku memesan kue untuk keluarga di kampung. 

“Dimana ambil pesanan?” tanya bapak. 

“Di Depok.” Jawabku, ada temanku yang bisnis kue. “Bapak Nuri tinggal yah, sebentar lagi Rendi datang.” kataku pada bapak. 

Hari itu aku menginap di rumah bapak. Sepanjang malam banyak cerita tentang kampung halaman. Koper-koper sudah siap diangkut. Aku tahu bapak tak sabar menunggu esok pagi. 

“Kita boarding jam berapa Ri?” tanya bapak. Sudah malam sudah pukul 22, aku tidur di kamar bapak tempat tidurku bersebelahan dengan bapak. Biasanya ruangan inilah favorit kami. Semua anak-anak bapak dan cucu-cucu bapak senang ebrkumpul di kamar ini. Seperti sudah aku ceritakan kalau rumah perjuangan ini memiliki kamar yang cukup luas 5 x 5 M2. Kamar tidur bapak memiliki 2 tempat tidur besar dan dua lemari pakaian. Ada lagi kasur yang diletakkan di bawah di samping lemari. Kasur ini untuk tidur keponakanku Fajar. Sedangkan Rendi tidur di kamar sebelah sendiri dengan kamar yang sama luasnya dengan kamar bapak. Dulu kamar yang ditempati Rendi adalah kamarku dan Tita. 

“Boarding jam 9 Pak.” Kita berangkat jam 6 yah, sekarang bapak tidur sudah malam.” Aku mengingatkan bapak dengan malam yang sudah bergelayut semakin gelap. 

“Taksi sudah dipesan belum Ri?” tanya bapak lagi. 

Aku yang sudah mulai tertelap jadi terbangun lagi untuk menjawab pertanyaan bapak. Tadi sepulang dari mengambil pesanan kue, aku naik taksi dan supir taksi sudah aku pesan untuk mengantar kami besok pagi. 

******* 

Subuh aku dan Bapak sudah siap. Sengaja aku tak menyiapkan sarapan untuk aku dan bapak. Selain pastinya ada perabotan yang kotor, juga makanan sisa akan membuat sampah saja. Rendi sudah pasti tak akan makan di rumah. 

“Pak, kita makan di bandara yah.” Kataku menenangkan bapak yang memang harus makan pagi ada obat yang harus diminum bapak. 

“Mahal kali Ri makan di bandara.” Kata bapak. 

“Tenang pak, ada sarapan gratis buat kita. “ kataku. Aku punya kartu anggota dari maskapai penerbangan. Senangnya dapat fasilitas makan di salah satu ruang tunggu bandara. 

Bandara seperti biasa sudah ramai, apalagi masih suasana lebaran tentunya masih ada yang ketinggalan mudik, yah seperti aku dan bapak. Koper-koper sudah masuk bagasi. Aku ajak bapak ke ruang tunggu untuk sarapan. 

“Hallow.” Sapa bapak pada pelayan di ruang tunggu. Seperti bisa bapak dengan ramahnya menyapa orang yang menunggu keberangkatan di ruang tunggu bandara. 

Sampai di Palembang , adik sepupuku Izwan sudah menjemput di bandara Soeltan Badarudin II. Malam itu kami menginap di rumah adik Bapak, mamang Ibrahim di daerah Rs Siti Khodijah. Pagi-pagi kami sudah siap untuk melanjutkan perjalanan ke Lahat (kota kabupaten yang dekat dengan kampung). Jarak Palembang Lahat bila ditempuh dengan mobil pribadi + 6 jam. Yah lumayanlah buat Bapak (tapi Bapak terlihat senang tuh), aku sempat khawatir Bapak tidak kuat mengingat kondisi jarak yang ditempuh. Ada sebuah bukit yang selalu dilalui bila akan ke Lahat. Namanya bukit tunjuk, Dulu waktu kecil, nenek selalu cerita kisah bukit tunjuk. Kisah Si pahit Lidah (legenda palembang). Bukit itu yang menandakan kami sudah akan sampai ke kota Lahat. Sebelumnya rombongan aku dan Bapak yang naik mobil adik sepupuku Dahlan bersama adik Bapak, Mang Rahim dan Bibi Cik Imah (adik Bapak juga) akan bertemu rombongan adik2 ku dan anak2 ku di rumah kakak sepupuku Ayuk Darmi di daerah Muara Enim. Jadilah pukul 14 waktu Muara Enim kami berjumpa di rumah Ayuk Darmi (mantan Camat). Lengkaplah rombongan Balek Dusun. Senangnya hari ini. Dusun atau kampung pertama yang akan kami sambangi adalah Dusun SP. Dusun ini adalah dusun orang atau dusun adik sepupu Mamahku. Dusun mamahku sendiri namanya tanjung Bindu dekat juga dengan Dusun SP. Setelah rombongan berkumpul semua akhirnya kami putuskan setelah ini mampir dulu di kota Lahat di rumah Ayu Sus. Bapak akan istirahat sedangkan kami melanjutkan ke dusun mamah di SP. 

Malam itu kami menginap di dusun SP sambil menyusun rencana untuk esok hari, syukuran bahwa kami datang ke dusun setelah sekian lama. Mamah terpaksa mengadakan syukuran di dusun SP bukan dusun tempat mamah dilahirkan yaitu Tanjung Bindu, karena di Tanjung Bindu Mamah sudah tidak punya keluarga. Keluarga mamah sudah pindah atau bahasa setempat 'ngaleh' ke dusun SP (belakangan mamah menemukan saudara sepupunya yang ternyata masih ada di dusun Tanjung Bindu). 

Tempat Terindah untuk Bapak 

BAB VII 



Pagi itu adalah pagi yang akan selalu kuingat. Bapak selalu meneleponku untuk sekadar menanyakan kabar atau menyampaikan berita yang sebenarnya tidak penting menurutku. Tapi aku yakin menurut bapak, kabar yang ia dengar di kampung tempat tinggalnya penting untuk diberitahukan padaku. 

“Kemarin, motor pak Saiful hilang Ri?” kata bapak padaku yang mampir sehabis pulang kerja. Sebenarnya aku tidak kenal pak Saiful dan apa urusannya motor yang hilang dari orang yang tidak aku kenal denganku. 

Tapi bapak semangat bercerita. Kata bapak motor pak Saiful hilang tadi malam di teras rumah pak Saiful. Sehabis subuh bapak selalu berolahraga dengan berjalan kaki keliling kampung bahkan hingga ke jalan raya. Nah sewaktu jalan pagi itu, bapak yang malamnya mendengar motor pak Saiful hilang, melihat seseorang memarkir motor di sebuah rumah kosong di ujung jalan kampung yang hampir keluar jalan raya. Naluri polisi yang dimiliki bapak langsung bekerja. Bapak mengamati motor itu dan meneliti setiap detail dari motor. 

Kemudian bapak menelpon mamaku yang ada di rumah untuk memberitahu pak Saiful. Sudah bisa ditebaklah kalau itu memang motor pak Saiful yang ternyata kehabisan bensin oleh pencuri motor mungkin aksinya kesiangan sudah Subuh. Maling motor itu meninggalkan motor pak Saiful di depan rumah kosong. 

Hari itu cerita bapak seputar penemuan motor menjadi perbincangan hangat di kampung. Bapak sendiri bangga karena setelah pensiun dari polisi baru ini katanya ada peristiwa yang membawa naluri polisinya yang seperti detektif itu kata bapak. Aku tersenyum dan juga senang melihat bapak begitu senangnya bisa membantu orang. 

Rumah bapak memang selalu aku lewati bila aku akan pulang ke rumah dari tempat kerja. Biasanya aku akan mampir untuk sekadar menanyakan kabar dan membelikan makanan untuk bapak. Akhir-akhir ini karena penyakit jantung yang dideritanya bapak kerap tidak lahap makan. Kalau disimak sih itu bukan sifat bapak. Dalam keadaan sakit, bapak akan selalu lahap makan. Kata bapak obat sakit itu yah makan. Kalau bapak sudah tidak lahap makan, ada saja yang ia pesan padaku maupun adikku entah martabak, bubur kacang hijau, ataupun sate ayam. 

Kami lima bersaudara. Namun sekarang tinggal empat. Kakakku nomor dua sudah meninggal di usia yang masih muda karena tabrakan motor. Tinggal kami berempat. Aku nomor tiga harus naik ke urutan kedua. Kata orang kampung dan teman-temanku, sifat bapak persis dengan sifatku. Yah cerminan bapak itu ada di diriku. Aku mudah menerima orang dan selalu mau berkorban. 

“Ri, pulang ngajar Nuri lewat restoran sop ikan yah?” suara bapak di ujung telepon. 

“Iya bapak, tapi hari ini Nuri tidak mengajar, ada pelatihan yang pulangnya tidak melewati daerah itu?” kataku dengan sedikit menyesal. Kalau aku sengaja melewati jalan tempat restoran itu ada aku pasti tidak mendapat magrib atau buka puasa bersama anak-anakku di rumah. 

Pada akhirnya jawaban penolakan aku ini menjadi senjata ampuh yang menggores luka yang dalam di hatiku. 

“Oh, gitu. Ya udahlah nanti bapak minta Tita yang membelikan.” Kata bapak sambil menutup telepon. Tita adalah adikku yang juga bekerja. 

Dua hari berlalu dari permintaan bapak padaku untuk dibelikan sop ikan kesukaannya. Hari itu sabtu aku kuat mengingat hari itu, karena aku lmamar dan aku sudah ada janji dengan teman untuk menghabiskan hari lmamar itu dengan karaoke di sebuah tempat karaoke langganan kami bila sedang suntuk. Sudah kulupakan keinginan bapak sop ikan kesukaannya. Padahal hari itu bisa saja aku membelikan sop ikan dan melihat bapak di rumahnya. 

Aku tak mampir ke rumah bapak karena kupikir tak ada yang penting yang harus kusampaikan pada bapak atau mama, besok saja Minggu aku mampir. 

“Ri, dah dimana lo?” tanya Wati temanku. Wati hobi nyanyi jadi aku selalu menghabiskan waktu bersama wati di tempat karaoke bersama Laila temanku satu lagi. Kami sama-sama menjadi guru selepas kuliah di kampus yang sama. Pertemanan aku, Wati dan Laila tak tergusur oleh waktu dan usia. Kadang kami mengajak anak-anak kami pergi bersama berwisata walau hanya sekadar nonton bersama. 

“Sudah dekat nih, Laila bagaimana jadi ikut?” kataku di ujung telepon 

“Wah, ga tahu deh. Bukannya kalau tiap Sabtu si Laila job nya banyak yah? Tanya Wati dengan tawa khasnya di telepon. 

“Ohhh, ga tahu tuh, job apa dia?” tanyaku bingung karena setahuku Laila tak pernah dapat job. 

“Hahahaha,” suara tawa Wati membuatku jadi ikut tertawa. Ternyata aku yang telmi nih. Laila setiap sabtu memang penuh job, dari mulai mencuci, menyetrika, beres-beres rumah yang hanya bisa dia lakukan di hari sabtu. Maklum Laila yang juga mengajar sama denganku dan wati tempat tinggalnya jauh dari tempat kerja. 

“Tunggu aja tempat biasa aku jemput Laila dulu yah.” Kututup telepon. 

“Ri, dimana?” suara mamaku di ujung telepon. 

“Ri, lagi di jalan Bu mau ada acara dengan teman.” Jawabku 

“Hari senin, adikmu ulang tahun tuh.” 

“Iya Nuri tahu, Bu pas juga dengan pertengahan puasa yah Bu.” Kataku lagi 

“Iya, bapak minta kumpul dan buka puasa bersama di rumah .” 

“Baik Bu, besok sepulang ngajar Nuri langsung ke rumah mama, anak-anak juga nanti Nuri pesankan pulang kuliah langsung ke rumah mama yah.” Kataku 

“Iya deh, masak apa yah besok buat sayur ketupat?” tanya mama. Wah mama bertanya disaat yang tidak tepat perutku juga keroncongan. Tadi malam sahur tak banyak yang aku makan. 

“Awan yang ultah minta dimasakkan apa Bu?” tanyaku lagi. 

“Biasa sayur pepaya tuh. “ sayur pepaya muda buatan mama memang enak sekali. Pedas, manis, dan gurih santan kelapa rasanya pecah di mulut. Wah gawat membayangkan masakan perut jadi semakin menjerit tak karuan. Kulirik jam yang ada di depan mobil baru pukul 9 pagi. 

“Ya udah Bu, buatkan yang ultah sayur pepaya yah, nanti Nuri beli buah dan gorengan. Rasanya sudah semua yang aku bicarakan dengan mama sampai aku lupa menanyakan keadaan bapak dan sop ikan yang dipesannya. 

Pagi itu aku berangkat ke sekolah karena ada rapat kerja selain itu ada sahabatku yang sudah menjadi pejabat diminta menjadi narasumber berkenaan dengan pendidikan di sekolahku. Masih aku ingat benar berarti dari permintaan sop ikan hingga hari ini aku belum bertemu bapak. Aku smamak dengan semua dunia kerjaku. Penyesalan yang tak pernah habis dalam diri ini. 

“Bu Eva, Bu... ada apa?” jerit Bu Tami yang tubuhnya tertimpa tubuh Bu Eva yang tiba-tiba sudah pingsan di sampingnya. 

Pagi itu kami baru memulai rapat guru. Bu Eva adalah temanku yang mengajar juga di SMA tempatku mengajar. Aku yang juga berada di samping Bu Tami sama terkejutnya. Apalagi Bu Eva tidak ada tanda-tanda sakit sebelumnya. Karena belum siuman dari pingsannya aku dan Bu Tati yang hari itu membawa mobil membawa bu eva ke RSUD yang dekat dengan sekolah. Masuk ruang UGD setelah lapor sana sini akhirnya Bu Eva bisa ditangani dokter dengan kondisi belum juga siuman. Aku tentu saja khawatir. Aku tahu eva sakit. Eva adalah teman kuliahku dan kuajak mengajar karena dia membutuhkan biaya untuk membesarkan anak-anaknya. Seharian itu aku menemani Eva yang masih belum sadarkan diri. Kedua anaknya yang di Bandung aku telepon untuk ke Jakarta maksudku agar mereka nanti yang bergantian menjaga ibunya. 

Sore sebelum waktu berbuka aku sempatkan pulang dulu ke rumah mama sekadar menyampaikan bahwa aku akan berbuka di rumah sakit tidak bersama keluarga. Keinginan itu karena kedua anak Eva belum datang juga dari Bandung. 

Aku tinggalkan Eva dengan menitip pada teman sekamar dan Eva juga sudah siuman walau belum sadar benar. Kupacu motorku ke rumah mama. Hidangan sudah tergelar di atas karpet. Pesta ulang tahun untuk adikku secara sederhana akan dirayakan. Biasanya bapak yang membaca doa sebelum masakan mama yang lezat kami santap. Hari ulang tahun adikku bertepatan dengan pertengahan ramadahan atau 15 Ramadhan. Setiap tahun setiap pertengahan Ramadhan mama pasti menyiapkan masakan yang sama dengan hidangan lebaran. Kata bapak masakan itu sebagai wujud rasa syukur karena sudah melewati hampir separuh Ramadhan. Bapak akan memberikan petuah pada kami anak-anaknya dan juga semua cucu bapak. 

“Jaga tali silaturahmi, sering-seringlah menelepon kakak kalian yang jauh.” Kata-kata itu selalu aku ingat. Hanya kakakku nomor satu yang tinggal tidak di Jakarta. Kakakku tinggal di Cikampek bersama suami dan seorang anaknya. Sedangkan ada dua anaknya tinggal dengan orangtuaku. Dua orang anak kakakku itu laki-laki dan sudah bekerja. Lumayan sebagai penjaga orangtua kami jika kami anak-anaknya tidak bisa menemani. 

“jangan karena kakak bukan orang yang punya, kemudian kalian lupakan.” Kulihat semua adik-adikku Tita dan Awan menunduk. Kedua adikku ini kurang akur dengan kakakku. Kakak nomor satu memang temperamental dan agak lebay. Adikku Tita sifatnya lugas tidak suka yang basa-basi. Maklum lama bekerja dengan orang bermata sipit jadi semua serba pasti tidak dibuat-buat. Adikku awan lebih banyak mendengarkan saja. 

“Iya pak, pesan bapak diingat deh,” kataku menimpali ucapan bapak. 

“Jangan diingat aja, lakukan, trus satu lagi nih,” wah kata itu aku tahu apa yang mau dibicarakan pada kami jadi sebelum bapak bicara aku sudah memotong dengan nada menyindir adik-adikku dan semua yang hadir terutama keponakanku. 

“Jadi kalian anak-cucuku jangan tinggalkan yang lima, karena yang lima itu perkaranya dunia dan akherat.” Kataku tanpa menunggu bapak bicara. Aku lihat bapak tersenyum karena memang itulah petuah penutup sebelum beduk magrib untuk berbuka berbunyi. 

“Mamah tahu aja apa yang mau diomongin nek anang.” Kata anakku Tasha. Nek anang adalah panggilan kesayangan semua cucu untuk bapakku. Bahasa Palembang menyebut kakek laki-laki dengan sebutan nenek lanang disingkat “Nek Anang”. 

Ritual pertengahan puasa yang rutin kami lakukan, suasana berebut opor ayam atau kadang mamaku masak rica-rica ayam jadi pemandangan biasa. Yah, mama hanya membeli satu ekor ayam yang disantap untuk empat belas mulut. Kadang satu ekor itu mama potong dua belas. Sebenarnya cukup karena dua keponakanku tidak suka ayam. Tapi itulah serunya saling berebut makanan. 

Kembali pada certitaku ketika hari itu aku harus bilang tak bisa berbuka bersama. 

“Buka dulu nanti kembali lagi ke rumah sakit!” kata mamaku sore itu ketika aku sibuk membungkus makanan untuk berbuka di rumah sakit dan untuk kedua anak Eva. 

“Kasihan Eva Mah, ga ada yang jaga, Nuri pulang nanti kalau anak Eva sudah datang yang?” pintaku pada mama. 

“Kamu tuh sama dengan bapak, selalu mementingkan orang lain.” Mama sedikit menggerutu. Itulah aku yang selalu berbelas kasihan pada orang lain sama dengan bapak. 

“Bapak, ga ikut makan Mah?” tanyaku yang melihat di sekeliling permadani hanya ada anakku dan keponakan. Adikku Awan dan istrinya belum datang. Sayangnya moment itu tidak aku manfaatkan dengan baik. Harusnya aku ke kamar bapak dan melihat bapak dulu. Waktukku banyak kalau aku punya rasa untuk menengok bapak dan mengenggam tangannya seperti biasa aku lakukan. 

Kalau aku menengok bapak di kamar biasanya bapak sedang tidur sambil memeluk guling kesayangannya. Herannya bapak selalu tahu kehadiranku. Padahal aku sudah mengendap-endap ke kamar bapak kemudian melihat bapak diam-diam. Bapak pasti mengagetkanku. 

“Ri, sudah pulang?” tanya bapak sambil menangkap tanganku yang memang aku letakkan di pundak bapak yang tidur miring. 

“Hahahaha, Bapak tahu aja, Nuri yang datang.” Tawaku lepas karena tangan bapak masih kokoh menangkap tanganku. Aku duduk di tepi tempat tidur dan menanyakan keadaannya. 

Seperti biasa bapak akan mengangkat tangannya dan mengepalkan kelima jarinya sambil berkata, “SEHAT DONG.” 

Yah aku memang sudah buta, mengapa tak terpikirkan tidak menengok bapak di kamarnya hari itu. Yang ada di kepalaku adalah Eva yang terbaring sendirian di rumah sakit. 

“Berangkat yang Mah.” Kucium tangan mamah yang sepertinya berat mengijinkan aku pergi. Di teras aku bertemu Awan dan istrinya yang baru datang. 

“Yu Ri mau kemana?” tanya Lina istri Awan. 

Aku ceritakan Eva yang terbaring di rumah sakit. Adikku Awan sedikit protes karena hari ini adalah ulang tahunnya dan juga bertepatan dengan pertengahan puasa. 

“Ya udah sama mama dan bapak aja yah potong kuenya.” Kataku meledek Awan. 

Kupacu motorku membelah jalan menuju rumah sakit. Sepanjang jalan kulihat banyak penjual makanan tajil untuk berbuka puasa. Ada bakwan jagung yang menggiurkan, risoles yang terlihat menggoda. Beberapa pembeli aku kenal sebagai tetangga mamaku. Kusapa dari balik helm yang aku kenakan. Baru separuh jalan ponselku berbunyi karena susah untuk mengangkat ponsel di jalan aku biarkan ponsel berbunyi. Pikirku nanti di rumah sakit baru aku balik menelepon. 

Sampai rumah sakit setelah memarkir motor dan naik ke lantai delapan tempat Eva dirawat, magrib pun tiba. Aku berbuka puasa dulu dan sholat magrib. Aku benar-benar lupa akan bunyi ponsel sepanjang jalan tadi. 

Selepas sholat aku masih menengok keadaan Eva dan menanyakan kondisinya. Ponsel masih aku lupakan. Aku baru teringat karena mau menelepon anak Eva yang belum sampai rumah sakit juga. Kulihat di layar ponsel adikku Awan menelepon sepuluh kali, belum suamiku menelepon, juga anakku. Aku tersentak ada apa mereka meneleponku semua. Buru-buru aku balik menelepon adikku karena tidak biasanya Awan meneleponku. 

Awan tak bisa kuhubungi, begitupun dengan suami dan anakku. Firasatku sudah tidak enak. Aku bereskan tas dengan sedikit melamun, telepon dari anakku membuyarkan lamunanku. 

“Mama pulang yah, Nek Anang sakit. Hati-hati di jalan jangan ngebut bawa motornya.” Telepon langsung ditutup. Aku tak sempat bertanya lain dan memang aku mulai gelisah. Bapak sering sakit dan sering pula hanya sakit yang bisa ditangani seketika oleh mamaku. 

Banyak orang memasang tenda di teras rumah mamah. Bangku-bangku sudah dijejer rapi. Hatiku sudah tak nyaman apalagi belum kustandarkan motor dengan sempurna, aku sudah disambut oleh seorang ibu yang kutahu tetangga mamahku. 

“Sabar, Mba Nuri iklaskan Bapak.” Suara pelan yang kudengar di telingaku seperti suara dengan mikrofon yang menghentakkan dadaku. Perih sakit rasanya hari ini aku kehilangan bapak dan aku tak ada di samping bapak. 



























Back Home Pasien Covid

Good bye Wisma Atlet Hari ke-14 di Wisma Atlet "Menunggu Surat" Senin, 4 Januari 2021 Ini hari ke-14 di Wisma Atlet. Katanya kami ...