Monday, August 11, 2008

Puisi Bullying Siswa SMA Yappenda Jakarta















Ini Sebuah ‘Tanda’
(by Suprianto)
Untuk SMA Yappenda

Kerangkeng amarah para praja
Kekejian di raga menjadi penanda
Gejolak jiwa dibawa ke peti
Kematian ini sangat merugi

Direkayasa
Diada-ada
Semua atas nama lembaga
Membentuk perisai diri agar tak bersalah

Meratap tangis isak tertahan di hati
Di pintu mayat para praja
Mengindahkan hati terbang tinggi
Dalam kepongahan institusi
Dalam hati merutuk segala
Meski perih panas membara
Memperjuangkan palu hukuman penjagal
Atas nama keadilan yang hampir mati
Di negara yang sudah tak berharga diri


Ketika Senja Merona Merah
(Karya Alda Meiza Fadliansyah)
Untuk putih abu-abu yang masih bertaur di jalan

Zal …
Maaf baru kugores pena ini
Cerita yang putus karena engkau pergi

Zal ...
Masih kulihat darah di dada
Membasahi putih abu-abu kita
Mengancam nafas yang setengah
Untuk kemudian...
Kau rebah dengan senyum yang tak pernah ada

Zal ...
Harusnya kita tak disana
Harusnya kita tak pernah ...
Berkelompok, berbaur tanpa arah
Karena baru kini kutahu itu sia-sia
Hanya membuat terpengal waktu muda kita

Zal ...
Ketika kau terima berita yang ada
Genggamku bilang tak usah
Tapi matamu menyorot asa untuk berbisa
Mengajakku tarung bersama
Zal...
Kutahu itu bukan kita
Kuyakin itu bukan segala
Namun, sorotmu tajam menggoda tak kuasa
Bagimu maju atau malu diterima

Zal…
Ketika pagi itu kita siakan segala
Yang katamu untuk melawan sebisa
Namun, aku tahu itu mengada-ada
Dengan besi yang terentang
Dengan pisau yang mencencang
Dengan bilah yang siap menghantam

Zal ...
Masih kudengar teriakan dari seberang dengan lantang
Teriakan tanda menyerang
Sampai akirnya kau kalah dengan sebatang bilah
Ratapku melengking tajam

Zal...
Siang itu jadi bisu
Semua terdiam dengan mata merona merah,
Dan terdiam dalam kata
Hanya lenguh nafas memburu tak puas diri
Kemudian langakah cepat karena sirine membahana

Zal ...
Masih basah gundukan itu
Ketika kulihat tangan sepuh merangkum bunga
Bulir airmata tak sanggup kusentuh
Dekap hangat tak lagi kurasa
Zal...
Selamat jalan
Agar tenang setelah panas


Rasa Itu
(karya : Siti Alawiyah)
Dalam pengalaman batin

Bisikan yang menggema kencang
Angin-angin telah menguasai nafsu
Dan kekecewaan yanga ada di dada

Kehidupanku
Setiap kata telah membungkus kesedihan
Menggoret luka dalam diam
Ketika tangan yang kotor hendak menjangkau

Apa yang terbentuk dibenak?
Apa yang dirasa oleh seringai ganas
Apa tak ada batas untu berlaku adat
Dalam kesopanan dan kedewasaan

Kata yang terlontar melecehkan kaumku
Bentuk yang ada dari fisik itu
Adalah kekerasan ragawi

Tak adakah yang aman untuk bergaul
Tanpa sentuhan yang tak diingin
Tak adakah nilai yang dianut
Agar mereka dapat larut
Dalam kesopanan tanpa kekerasan


Rintihan Hari
(karya Ma’wa)

Ketika hari menjadi terang
Alam bernyanyi lirih
Sepercik air membasahi tubuh
Mengantarkan diri ke dalam asa

Tajamnya pedang telah menggoreskan luka di hati
Mengiris-iris jiwa menjadi kepingan

Bagai dicambuk
Hari meronta
Tiada suara
Tiada rintihan

Ada yang terluka dalam pagi
Ada yang teraniaya dalam riuh gemuruh
Suara sumbang mengantarkan jasad yang ada
Karena pagi tak ramah pada sesama
Sesama penuntut ilmu yang muda

Ada seruan dengan lantang
Meneriakkan kenaikan yang tak perlu
Namun, selongsong peluru membungkam
Untuk kemudan tak bersuara lagi

Mereka dianiaya
Mereka diperdaya
Mereka para laskar calon sarjana
Diam dan sia-sia


Air Tenang Itu Menjadi Besar
(Karya Surya)

Air itu tadinya tenang
Air itu tadinya surut
Namun
Riaknya kini bergelombang
Ketika tangan-tangan kasar mengaduk
Dalam kebijakan
Yang menyengsarakan negeri

Air yang tenang kini bergelombang
Air yang surut kini pasang ke permukaan
Bergerombol di jalan meneriakkan keadilan
Mengepalkan tangan mengecam kebatilan

Air yang tenang kini bergejolak
Di setiap sudut jalan dan lorong kota
Ingin mengambil apa yang masih bisa
Harga diri untuk sesuap nasi


Sampit yang Kukenang(
karya Putri Rahmi)


Hilirnya waktu mengenangi jiwa dan hati
Senja malam tak terlihat
Bagaikan bunga tumbuh mekar
Berwarna-warni di sekeliling
Tapi itu hanya terlihat dalam renungan
Hati dan keinginan

Tragedi yang kulihat, kudengar, dan kusaksikan
Bagaikan padi yang gersang
Termakan hama kebuasaan
Sampit yang kukenang...
Mematikan asa dalam diri anak-anak negeri

Sampit yang kukenang
Membuat hati dan jiwa meringis sepi
Mengenangi hati dengan air mata duka
Penuh duka dalam tangis tiap bunda

Sampit yang kukenang
Menorehkan cerita yang tak usang
Karena ada sesal yang mendalam
Tentang daerah yang tumbuh alam kepongahan
Hingga tak ada kata mengalah

Sampit yang kukenang
Ada serangkum doa terpanjatkan
Ada setangkup pesan tersiratkan
Untuk kedamaian dan ketentaraman
Untuk keriangan yang telah hilang

Sampit yang kukenang
Akan panen dengan kuningnya padi
Akan ramainya anak-anak bertelanjang kaki
Menapak hari untuk bekal nanti
Menghias Sampit dengan celoteh penuh janji
Janji untuk kedaimaian abadi



Hujan Airmata
(Karya: Nina Nabila)

Terang terbalut dalam kegelapan
Bintang tersaput kabut tebal
Bulan bersembunyi enggan keluar
Tak seperti waktu-waktu dulu

Ketika semua penduduk gempita dalam canda
Ketika masih ada nasi di pinggan
Ketika air tak lagi harus di dorong
Ketika gubuk liarnya berdiri kokoh

Kala senja turun menghampiri
Rata gubuk dengan amarah sang penguasa
Mereka bekerja dengan amarah
Menggigit nurani yang renta


Dalam Remang Malam
(Karya Rizky Wulandari)
Untuk STIP Marunda

Di lorong itu bila malam tiba
Jeritan tak terkendali
Menghentak para tunas untuk berdiri
Memanggul benda dengan harga mati
Tak mendengar ayun tangan akan diberi
Melayang, menghantam,memukul
Biasa terjadi
Padahal mereka bukan pejabat negeri
Darah mengucur bukan terperi
Hanya inisial tanda ngeri
Bahwa mereka mulai bergigi
Mewakili para senioritas
Mewakili para penguasa
Mewakili para algojo dunia

Di remang malam
Hukuman dijalankan
Memaksa kehendak untuk taat
Memukul nurani untuk menurut
Sekali tak terpenuhi
Suara-suara mengiris luka
Yang lain hanya tertawa
Hingga hukuman berkesudah

Di lorong itu bila senja merangkak
Suara bag..big...bug....
Terasa berirama, memainkan tempo instrumentalia
Sekali lagi bag...big...bug...
Senyum puas para algojo muda


Jangan Lantang Bersuara
(Karya : Dina Maisari)

Kala provokator bersuara
Tebesit hati melampiaskan amarah
Rasa dendam bergejolak di dada
Terasa menususk di dalam raga

Kala pelajar berbaris tergesa-gesa
Menyerbu datang ke tempat lawan
Senjata genggam di tangan
Suara bersahutan lantang terdengar

Saling hujat, saling sikut, saling mencaci
Menjadi menu pembuka
Ada seringai puas untuk menyerbu segera
Agar lega dirasa terbuka

Kala bergelimpangan pelajar menghias jalan
Penuh darah dan habis nyawa
Hanya senyum sinis diterima
Bagi mereka itu pantas agaknya

Kala hati ini bertanya
Kemanakah hilang nurani
Dimanakah terbang akal budi
Siapa yang harus menjawab ini


Adakah Kau Dengar?
(karya: Nur Apiyanti)

Teriakan-teriakan karena rasa sakit
Tidak terdengar oleh insan di luar
Tendangan-tendangan mendera menghujam

Genggaman-genggaman tangan mendera
Seakan menutup mulut yang akan bersuara
Hanya angin dan udara saksi semua
Tentang seongok kisah di sana

Mengapa?
Mereka bertahan untuk sebuah cita-cita
Dalam balutan seragam yang bernilai di mata
Mereka kuat untuk sebuah asa
Karena Bunda memberi doa
Rintihan Hati Para Pahlawan
(Karya : Asep M)

Ketika raja siang telah muncul dari persembunyian
Menyinari seluruh alam semesta
Dengan wajah yang bercahaya
Menyambut datangnya pagi

Seluruh insan bernyawa
Menyambut dengan hati gembir
Akan tetapi seorang siswa praja
Berbaring di atas alas

Sunggh malang seorang siswa praja
Karena tidak dapat merasakan sinar yang hangat
Sianar yang dapat membuat insan menari
Sinar yang dirindukan oleh semua insan

Akibat pertengkaran lidah yang terjadi
Sehingga kaum praja saling bertengkar
Mengapa semua harus terjadi...
Ada apa dengan kaum praja

Apakah seperti ini kau praja sekarag
Menggunakan narkoba
Mabuk-mabukkan
Dan menikmati dunia gemerlapan

Apa yang terjadi pada negara kita
Kalau para praja hanya seperti
Akan negara kita dapat gembira
Dapat meneruskan para pahlawan

Akan hati para pahlawan senang
Akankah para pahlawan gembira
Melihat para praja sekarang
Hanya airmata dan rintihan hati yang dirasa


PAHLAWAN
Karya Ellian Gadman

Disini ku melangkah
Dihantui rasa takut

Tangisan air mata dijalanan
Mungkinkah ini kan berakhir

Masih adakah pahlawan di kota ini
Yang dapat menghentikan pertarungan para pelajar

Masih adakah keadilan di kota ini
Walau darah bercucuran disana-sini

Berhamburan sejuta nafas terakhir
Dunia dapat berhenti berjalan

Mungkinkah dapat bersuci kembali
Walau sudah berpindah dunia


KEKERASAN
Karya Riza Ferdian

Kekerasan.............
Mengapa hal itu harus ada dan terjadi
Beribu-ribu orang yang telah jatuh
Menjadi korbannya

Kini hal itu semakin marak
Mulai dari kalangan tinggi
Menengah, hingga bawah,
Semua melakukan itu
Seakan-akan hal itu sudah
Menjadi tradisi bangsa ini

Malu............
Diri ini malu bila harus mengakui
Inilah bangsa ku
Sedangkan didalam bangsa ini
Terus menerus terjadi kekerasan
Apa yang harus kita banggakan dalam bumi ini
Sedangkan hal-hal yang tidak baik
Selalu dilakukan tiap hari dan semakin bertambah
MALAM YANG TERKENANG
Karya Achmad Bilallian

Indahnya malam ini
Tak seindah kunang-kunang
Hanyut menyapu kalbu
Gelap menjadi perhiasan malam

Sayang keindahan ini tak menyentuh hati mereka
Mereka para penjilat
Yang hanya ingin kesenangan
Diatas penderitaan orang lain

Indahnya malam ini
Kini dirusak sudah oleh para penjilat
Mereka mengambil yang bukan hak mereka


Penyesalan
(Karya : Julian Supriyanto)

Di balik air mata ibu
Banyak tersimpan hal yang tersembunyi
Di lembaga yang disebut pendidikan
Tetapi menjadi tempat untuk kekerasan

Para praja yan selalu disiksa
Tubuh terasa hancur
Darah berceceran
Dan tak kuasa aimata berlinang

Senior yang selalu menindas
Selalu berkuasa
Membuat para praja tak mau kembali ke tempatnya

Ibu yang melahirkan
Terdiam dalam tangis penyesalan


Di balik Tembok Pendidikan
(Karya: Indra)

Sekolah yang dikatakan lembaga pendidikan
Tetapi dibuat untuk penghajaran
Pkulan yang memilukan,menyakitkan,menyedihkan
Dan linangan airmata penyesalan

Ketika diharuskan belajar
Tetapi mereka malah dihajar
Senior-senior yang garang
Menghapus mimpi pelajar

Akankah terhapus
Setelah semua telah merasuk


Tangisan Sang Tertindas
(Karya : Yunita)

Raut wajah bahagia
Kini tak lagi tampak
Hanya kesedihan
Yang kini mewarnai

Walau zaman sudah maju
Tetapi bagi mereka sama saj
Ingin rasanya berontak
Apa daya hanya rakyat jelata

Rakyat jelata yang tak bisa apa-apa
Ketika kekerasan menghantamnya
Ketika keponggahan menghampirinya

Tikus yang makan tanaman
Tidak sadar akan hal itu
Hanya kepuasan semata
Untuk mengumbar hasrat sang penguasa


Dengarlah
(Karya : Kokom Komariyah)

Kau tak seperti berlian
Yang memancarkan sinarmu
Rakyat-rakyat mejerit
Sang penguasa bertahan

Apa yang terjadi
Sang penguasa...
Kau memejamkan matamu
Angis mengiris jiwa

Sejuta harapan hari
Mengisi kecemasan raga
Keringat-keringat membasahi negeri
Harapan yang tak terdengar

Mana janjimu...
Kekerasan kau jadikan alasan
Demi mencari kepuasan raga
Dimana sang penguasa berlian

Kekerasan yang Tak Berujung
(Karya : Bintari)

Waktu berganti hari demi hari
Kekerasan yang terjadi
Terus-menerus menghampiri

Para penerus negeri
Tak dapat lagi bersatu
Hanya dengan satu kesalahan
Dengan hal yang tak wajar
Apa yang sebenarnya terjadi
Apakah dengan satu kesalahan
Persahabatan akan putus

Akau berharap tak ada lagi suasana mencekam
Bertemakan kekerasan
Hadir di sini


Bullying
(Karya: M. khairun Tamami)

Kekerasan di pendidikan
Kini merajalela
Kekeasan di sekolah
Kini bergelora

Selalu ditindas
Selalu diacuhkan
Selalu dilecehkan
Oleh semua yang bertauah

Tak ada yang suka
Ada yang selalu merasa
Dikucilkan, dilecehkan, dianiaya
Oleh sesama

Arogansi kakak kelas atas nama senior
Lingkungan sekitar atas nama keadaan
Tak ada belas kasih
Tak ada uluran tangan
Karena semua tak berpihak


Tangisan Tak Berpihak
(Karya : M. Hafiyyan)

Detik demi detik
Hari demi hari
Tangisan selalu terdengar
Tangisannya selalu terdengar
Merintih penuh kesakitan

Mereka dianiaya
Mereka disiksa
Hingga tak berdaya
Oleh tangan-angan penuh dosa

Tertawanya...bahagianya
Kini tak terasa
Mereka diam dalam tangis
Mereka merana dalam duka

Apakah harus beini
Apakah harus selalu menerima
Apakah ini sebagian dari ujian
Untuk sukses di masa depan?

Tangis yang ada tak pernah berpihak!

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah memberikan komentar dan masukan

Back Home Pasien Covid

Good bye Wisma Atlet Hari ke-14 di Wisma Atlet "Menunggu Surat" Senin, 4 Januari 2021 Ini hari ke-14 di Wisma Atlet. Katanya kami ...